Kamis, 27 Agustus 2015

Dikutip dari postingan sobat Rahardi Ramelan di Facebook...
PROYEK STRATEGIS, INDUSTRI DAN TEKNOLOGI
Rahardi Ramelan
Pengamat Teknologi dan Masyarakat
Presiden Jokowi baru saja mengadakan perubahan kabinet, khusunya pada tingkat koordinasi. Tanpa memberikan pendapat mengenai menteri yang dicopot dan menteri yang baru, bangsa ini tetap menghadapi berbagai masalah besar terutama dalam bidang ekonomi.
Berbagai proyek besar dan strategis sudah menghadang kita. Beberapa proyek strategis yang memiliki kandungan teknologi tinggi antara lain Alutsista, Pembangkit Listrik, dan Kereta Api termasuk proyek Kereta Api Cepat atau High Speed Train, serta pengadaan Pesawat Terbang oleh Garuda. Proyek-proyek ini dilaksanakan baik sebagai investasi pemerintah dengan memanfaatkan APBN, pinjaman, investasi BUMN, tetapi juga investasi swasta dengan skema BTO (Build Transfer Operate) ataupun BOT (Build Operate Transfer).
Untuk proyek-proyek strategis dengan kandungan teknologi yang tinggi, pada tahun 1980-1998 sebagai program mendukung industri dalam negeri, kita menerapkan kebijakan keharusan dilakukannya off-set dan alih teknologi. Kebijakan ini telah memacu berkembangnya industri manufakturing dan industri strategis, serta dikuasainya berbagai teknologi. Disisi lain kita juga telah mendorong lahirnya beberapa perusahaan enjiniring yang bisa melakukan proyek-proyek besar secara turn-key. Beberapa Pabrik Pupuk dan Kimia Dasar pada waktu itu, secara keseluruhan telah dibangun oleh perusahaan-perusahaan enjiniring tersebut. Sejalan dengan itu telah dibangun berbagai laboratorium pengujian dan penelitian. Tetapi dengan pergantian pemerintah dan berubahnya kebijakan sejak tahun 1999 maka kita menghadapi yang sering saya katakan sebagai interrupted technological development.
Dengan adanya proyek-proyek besar dihadapan kita dalam waktu-waktu yang akan datang, seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai titik balik menuju kemampuan peningkatan teknologi dan industri manufakturing, kita perlu menegakkan kembali tekno-ideologi. Dalam pengadaan Alutsista misalnya, pengaturan telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2012, tentang Industri Pertahanan.
Pasal 43 , ayat 5 antara lain menyatakan bahwa pengadaan Alutsista harus memperhatikan, antara lain
o Imbal dagang, kandungan lokal/offset minimum 85%
o Kandungan lokal/offset minimum 35%, peningkatan 10%/tahun sampai 5 tahun. Berarti 85% dalam 5 tahun.
Semangat yang terkandung dalam Undang-Undang ini perlu diterapkan sebagai kebijakan utama dalam pengadaan proyek-proyek besar strategis yang akan datang.
Proyek Pembangkit Tenaga Listrik 35 ribu MW, Pengadaan Lokomotif dan Gerbong Kereta Api, Proyek Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung, Pengadaan pesawat terbang oleh Garuda, dan Pengadaan Alutsista bisa menjadi modal dan batu lompatan dalam meningkatkan pembangunan dan kemampuan industri manufakturing.
Kita masih memiliki industri manufakturing yang tangguh, baik yang tergabung dalam BUMN Strategis, BUMN, dan perusahaan-perusaahan industri swasta nasional yang telah berkembang. Industri elektronika dan IT saat ini berkembang dengan pesat. Ini merupakan modal kita yang sangat penting. Yang diperlukan adalah tekad kita semua, menggalang kekuatan dan semangat Indonesia Incorporated.
Semoga dalam memperingati Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ke 70, kita bersama bisa bertekad menegakkan industri dan teknologi kita.
Jakarta 15 Agustus 2015.
(rahardi@ramelan.com) hp 0811832105


                                                      (Foto Reuni di Hotel Kemang 2008)

Minggu, 23 Agustus 2015

  • THE VELVET REVOLUTION                                            Runtuhnya Kekuasaan Komunis di Cekoslowakia                                              Oleh  G.F. Simorangkir
         
           PRAKATA     (Hal 1 - 14)  







1968 dan 1989

Benang Merah
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada benang merah antara peristiwa bersejarah tahun 1968 dan tahun 1989 di negara yang pernah bernama Republik Sosialis Cekoslowakia.
Pada tahun 1968, gerakan reformasi dan liberalisasi yang terkenal dengan istilah ‘Pražské jaro 1968’ (‘The Prague Spring 1968’ atau ‘Musim Semi Praha 1968’) dibawah pimpinan  Alexander Dubček, pernah menjadi harapan rakyat Cekoslowakia untuk terjadinya perubahan dan demokratisasi dalam sistim negara yang telah 20 tahun menjadi ‘negara satelit‘ Uni Sovyet tersebut. Tetapi gerakan yang kemudian mengilhami berbagai ‘musim semi‘  politik di negara-negara lain itu tidak sempat berumur panjang, karena segera diintervensi oleh  masuknya pasukan Uni Sovyet dan Pakta Warsawa menduduki Cekoslowakia pada tanggal 20 Agustus 1968 malam.
Barulah 21 tahun kemudian, pada November 1989, sebuah gerakan reformasi total dan radikal yang disebut juga Sametová revoluce atau ‘The Velvet Revolution‘  kembali melanda Republik Cekoslowakia, namun kali ini sukses menurunkan rezim yang telah 41 tahun berkuasa di negara  tersebut.

Benang merah yang menghubungkan kedua peristiwa tersebut adalah semangat patriotisme anti-dominasi politik dan militer Uni Sovyet di Cekoslowakia, yang telah berlangsung sejak 1948  serta kekecewaan mereka atas hilangnya kebebasan-kebebasan tertentu yang pernah mereka nikmati di zaman sebelumnya.           
Sebagian besar para penggerak The Velvet Revolution 1989 adalah mantan mahasiswa, pemuda dan aktivis reformasi 1968. Namun berbeda dengan cara-cara perjuangan tahun 1968, mereka  lebih memilih cara-cara yang tidak konfrontatif. Gerakan Charta 77 (kelompok oposisi yang muncul pada 1977) misalnya, dengan jelas mendasarkan perjuangan mereka pada hak-hak azasi manusia (HAM) yang dijamin oleh 2 buah Kovenan PBB yang telah ditandatangani oleh berbagai negara di seluruh dunia, termasuk oleh pemerintah Cekoslowakia pada tahun 1968.

Anna Sabatová, salah seorang pendiri kelompok tersebut mengatakan:
     “Charta 77 adalah produk dari sebuah momen historis dan unik, yang mempunyai akar pada peristiwa-peristiwa tak terlupakan tahun 1968. Kebanyakan dari kami penandatangan Charta tersebut didorong oleh perasaan-perasaan kami yang bertolak dari hari-hari tersebut….
    Setelah (Kovenan-Kovenan) itu ditandatangani, dia menjadi bagian dari sistim hukum Cekoslowakia dan ini memberi peluang kepada Charta 77 untuk mengajukan dengan tanpa lelah, sebuah ajakan yang simpel dan tak terbantahkan yaitu: agar Pemerintah menaati sendiri ketetapan-ketetapan hukumnya”.[1]

Dari mereka yang dulu turut berperan dalam protes-protes dan pemogokan tahun 1968 ataupun yang sekedar menjadi saksi-bisu pada peristiwa tersebut, ada sejumlah orang yang dari waktu ke waktu menggalang sikap-sikap oposan terhadap kekuasaan yang baru. Mereka ini, yang sebagian besar adalah cendekiawan, seniman dan budayawan, beserta anggota-anggota liberalis partai KSC yang telah dipecat, tidak lagi memilih cara perjuangan politik-praktis yang sewaktu-waktu bisa diberangus dan dinyatakan ilegal. Mereka memilih jalan ‘perlawanan-tanpa-kekerasan’ dan tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku, dengan membentuk kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak azasi manusia, seperti Charta 77, VONS, dll.

Reformasi 1989 berawal ketika mahasiswa-mahasiswa Cekoslowakia yang tadinya hanya mengadakan peringatan 50 tahun gugurnya mahasiswa Ceko Jan Opletal (yang ditembak mati oleh tentara Nazi Jerman pada 17 November 1939), belakangan ‘membelokkan’ aksinya menjadi aksi orasi dan unjuk rasa dan berusaha ‘menggoyang’ pemerintahan Gustav Husák  (pengganti Alexander Dubček) dengan demo-demo nonstop selama 2 minggu di bulan November 1989 itu. Mahasiswa kemudian memberikan jalan kepada tokoh-tokoh oposisi yang telah teroganisasi, untuk menjadi jurubicara mereka dalam proses perundingan dengan rezim yang berkuasa.

Perjuangan mahasiswa dan rakyat Cekoslowakia kali ini berhasil. Perkembangan situasi politik di dalam dan luar negeri (blok Eropah Timur) saat itu sama sekali tidak menguntungkan bagi partai KSC untuk berkuasa terus. Pemerintahan Husák pun akhirnya turun dan menyerahkan kekuasaan kepada pihak oposisi.

Dalam jajaran kekuasaan baru yang kemudian menggantikan rezim komunis, tokoh-tokoh dari kalangan eksponen 1968 tsb (angkatan ‘The Prague Spring’) turut menduduki berbagai posisi penting. Bahkan Alexander Dubček pun, yang telah disingkirkan dari kehidupan politik pada 1969, dinaikkan kembali ke panggung politik dan menjabat Ketua Majelis Federal dari 1989 sampai ia meninggal pada 1992.

Pertarungan Kekuasaan
Sejarah Republik Sosialis Cekoslowakia dimulai dari naiknya rezim komunis pada tahun 1948, tetapi sesungguhnya pertarungan kekuasaan didalam Partai Komunis Cekoslowakia (KSC) telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia Ke-II.
Waktu itu kepemimpinan partai dipegang oleh Rudolf Slanský (Sekretaris Jenderal) dan Klement Gottwald (Ketua) yang juga menjabat Perdana Menteri Cekoslowakia. Selama Perang Dunia Ke-II mereka memilih mengungsi ke Moskow dan mengkoordinir perlawanan terhadap Nazi Jerman dari sana. Di Moskow mereka termasuk pemimpin-pemimpin negara tetangga Sovyet yang dekat dengan Jozef Stalin.

Sekembalinya ke Cekoslowakia mereka berdua berhasil membangun kembali partai KSC dan memenangkan pemilu pada 1946 dengan meraih sekitar 40% suara pemilih. Pemerintahan dijalankan oleh koalisi Front Nasional, sebuah koalisi 6 partai, dimana KSC menduduki 2/3 kursi, sementara yang 5 partai lagi hanya memperoleh 1/3 bagian.

Tetapi kekompakan dan kerjasama antara kedua pemimpin Cekoslowakia tersebut tidak berlangsung lama. Menjelang tahun 1950-an Jozef Stalin yang menjalankan kekuasaan ‘tangan besi’ di Uni Sovyet, mencurigai orang-orang partai komunis di negara-negara Eropah Tengah dan Timur dan terutama orang-orang komunis/sosialis keturunan Yahudi, sebagai tidak loyal kepada Uni-Sovyet.
Stalin segera melakukan gerakan pembersihan terhadap orang-orang tersebut, yang berdampak pada timbulnya pertentangan internal dan saling mencurigai di berbagai partai di negara setempat antara yang mendukung dan menentang Stalin. 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              
Di Uni Sovyet sendiri, Stalin mengadakan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh tidak loyal, terutama yang dicap sebagai pengikut-pengikut Trotsky.

Sementara itu di Yugoslavia, Jozip Broz Tito (yang kemudian dicap Trotskyis oleh rezim Stalin) sedang membangun sistim sosialis sendiri dan tidak mau bergabung dengan Blok Uni Sovyet.

Gottwald adalah pengikut setia dari cara kepemimpinan Stalin. Sebaliknya Slanský  yang keturunan Yahudi, bertentangan dengan Stalin, menyebabkan ia  kemudian dicurigai, ditangkap dan diadili dengan tuduhan sebagai ‘Titois’ dan ‘Zionis’. Dia disidang dalam serial ‘pengadilan politik’ bersama 13 orang lainnya dan dijatuhi hukuman mati, yang dilaksanakan pada Desember 1952.

Kembali ke tahun 1948, setelah memenangkan pemilu 1946 Perdana Menteri Klement Gottwald berhasil membentuk kabinet ‘Front Nasional’, yang melibatkan juga tokoh-tokoh dari 5 partai non-komunis. Tetapi kabinet koalisi tersebut tidak berjalan lama. Melalui berbagai intrik yang dilakukan oleh orang-orang partai KSC, terutama melalui menteri-menteri komunis yang ada didalam kabinet, 12 orang menteri non-komunis akhirnya mengundurkan diri dari kabinet, yang menyebabkan Presiden Edvard Beneš mengambil keputusan untuk  membubarkan kabinet.

Gottwald kemudian membentuk kabinet baru, yang didominasi oleh menteri-menteri dari partai komunis, dan dengan demikian terciptalah pemerintahan satu partai. Peristiwa inilah yang kemudian disebut orang sebagai ’kudeta-tak-berdarah’ atau ’kudeta-konstitusional’ Februari 1948, yaitu pengambil-alihan kekuasaan negara sepenuhnya oleh partai komunis.

Pada tahun-tahun berikutnya Gottwald dan pengikut-pengikutnya melakukan  pembersihan, mula-mula dengan menyingkirkan orang-orang non-komunis yang dicurigai sebagai ‘agen-agen Barat’, baru kemudian pembersihan terhadap orang-orang partai KSC sendiri. Di zaman itu berlangsung penangkapan-penangkapan berdasarkan tuduhan-tuduhan yang belum tentu benar dan banyak orang partai yang harus menjalani pengadilan-pengadilan politik, dihukum mati atau dipenjara, tanpa melalui proses peradilan yang layak. Selama 5 tahun Gottwald berkuasa, sebanyak 230 orang dijatuhi hukuman mati dan sekitar 200.000 orang dikirim menjalani hukuman di penjara-penjara atau kamp-kamp kerja-paksa.[2]

Perubahan-perubahan politik selanjutnya di Cekoslowakia, baru terjadi setelah Stalin dan Gottwald meninggal pada tahun 1953. Sebagai pengganti Gottwald, partai ditunjuk Antonín Novotný yang menduduki jabatan Sekretaris Jenderal KSC dan Antonín Zápotocký yang menduduki jabatan Presiden Republik Cekoslowakia.

Tak lama setelah Stalin meninggal segera timbul gelombang Destalinisasi di berbagai negara sosialis di Eropah Timur yang dimulai oleh Nikita Khrushchev di Uni Sovyet, dengan pidato-pidatonya yang mengutuk ‘kultus individu’ di zaman Stalin.

Namun di Cekoslowakia, Novot  tidak begitu tanggap dalam menjalankan perubahan-perubahan di bidang politik. Destalinisasi berlangsung lambat dibandingkan negara-negara sosialis lainnya dan baru dimulai pada tahun 1956. Sementara itu Novot sendiri (yang sejak 1957 juga merangkap jabatan Presiden) menjalankan kekuasaannya dengan cara konservatif dan masih tetap menjalankan sentralisme selama kira-kira 10 tahun. Terutama ia masih melakukan pengekangan di bidang seni dan media-massa, walau sebenarnya pengendoran konservatisme di negara-negara komunis lain telah dimulai sejak Stalin meninggal.

Walau akhirnya Novotný menyetujui liberalisasi dalam batas-batas tertentu dan mendekritkan rehabilitasi terhadap tokoh-tokoh partai yang telah dihukum mati di zaman Gottwald, ia masih tetap saja berkiblat ke Moskow. Sikapnya yang kaku dan otoriter menyebabkan ia kurang populer di mata rakyat dan terlebih-lebih di kalangan mahasiswa. Pada tahun 1967  Novotný mulai kehilangan kontrol, terutama setelah menguatnya suara-suara yang menuntut langkah-langkah perubahan dan pertanggung-jawaban para pemimpin serta segera diadakannya pemilihan-pemilihan yang bebas dan wajar.

Pada waktu bersamaan, didalam tubuh partai mulai timbul gerakan-gerakan yang menuntut adanya perubahan politik dan diperlonggarnya kendali Uni Sovyet. Di pihak lain, golongan konservatif didalam partai  berusaha keras mempertahankan sistim yang ada dan mencurigai arah tuntutan perubahan-perubahan tersebut sebagai anti-pemerintah.

Sementara itu keadaan politik yang bergejolak, diperparah pula oleh perkembangan di bidang ekonomi negara yang semakin memburuk. Pada akhir tahun 1967 pertarungan didalam tubuh KSC semakin memuncak. Dalam kongres partai tanggal 5 Januari 1968, Novotný setelah melihat dukungan terhadap dirinya semakin berkurang, terpaksa meletakkan jabatan dan menyerahkan kekuasaan kepada penggantinya, Alexander Dubček.

Dubček dan kelompok yang tidak puas dengan kondisi politik dan ekonomi pada waktu itu, segera memulai gerakan reformasi dan liberalisasi yang kemudian terkenal dengan istilah Pražské jaro 1968 (‘The Prague Spring 1968’). Mereka memperkenalkan ide-ide alternatif tentang sosialisme yang diberi nama ’sosialisme (berwajah) manusiawi’, yang dicurigai dan ditentang oleh kubu konservatif.
Dubček mendapat dukungan luas di masyarakat karena ia berusaha meninggalkan watak represif rezim komunis, memberikan berbagai kebebasan kepada masyarakat dan memberi kebebasan kepada terbentuknya organisasi-organisasi sosial dan politik diluar kontrol KSC. Kalangan cendekiawan dan terutama pengarang turut bersuara lantang dan menuntut lebih banyak lagi liberalisasi dan demokratisasi.

Di pihak lain, perkembangan yang terjadi di masyarakat, membuat kubu konservatif atau ‘garis keras’ partai, serta pimpinan Uni Sovyet dan Pakta Warsawa semakin khawatir dan berusaha menekan Dubček agar mengurungkan niatnya melanjutkan liberalisasi. Mereka mengkhawatirkan Dubček tidak mampu dan akan kehilangan kendali atas situasi politik dan ekonomi Cekoslowakia.

Leonid Brezhnev dan pemimpin-pemimpin Sovyet lainnya berusaha keras mengerem atau membatasi arus liberalisasi di Cekoslowakia dengan melakukan berkali-kali perundingan dengan pihak Dubček dan kawan-kawan. Dalam perundingan-perundingan tersebut, Dubček ngotot dan berusaha meyakinkan Uni Sovyet bahwa dia adalah tetap sekutu terpercaya Uni Sovyet dan reformasi adalah masalah dalam negeri yang bisa ia atasi.

Walau Dubček dalam perundingan-perundingan menerima saran-saran dari sekutunya, tetapi yang terjadi di lapangan adalah perkembangan yang semakin memprihatinkan bagi Uni Sovyet. Di pihak lain, kubu ‘garis keras’ KSC, yang semakin tak didengarkan oleh pendukung-pendukung reformasi, mengusulkan kepada Uni Sovyet agar segera bertindak untuk mengatasi keadaan.

Akhirnya pada 20 Agustus 1968 malam, pasukan-pasukan Uni Sovyet dan Pakta Warsawa menyerbu negara Cekoslowakia dari segala pintu perbatasan dan menduduki Cekoslowakia dalam waktu 24 jam. Dubček dan pemimpin-pemimpin Cekoslowakia lainnya ‘diculik’ dan diterbangkan ke Moskow untuk berunding dengan pemimpin-pemimpin Uni Sovyet. Didatangkan pula ke Moskow pimpinan KSC lainnya, yang dari kubu reformis, konservatif maupun yang sentris (‘tengah’).

Dubček dan kawan-kawan setelah 6 hari perundingan yang melelahkan, akhirnya ’terpaksa’ menerima dan menandatangani kesepakatan yang bernama ‘Protokol Moskow’ tersebut dan pulang kembali ke Praha pada tanggal 27 Agustus 1968.
Perombakan besar-besaran kemudian segera terjadi didalam partai dan pemerintahan, dibawah tekanan dan kontrol dari penasehat-penasehat politik dan militer Uni Sovyet. Segera setelah perombakan dilakukan, menyusul  pembersihan besar-besaran didalam partai. Seluruh pengikut-pengikut Dubček diganti secara bertahap dengan orang-orang KSC pro-Sovyet. Dubček sendiri masih dibiarkan berkuasa sampai April 1969 namun semua hasil-hasil reformasi yang telah dicapai, dianulir atau dikembalikan oleh rezim baru ke kondisi ‘sebelum Reformasi 1968’.

Stabilisasi Kekuasaan
Sebagai pengganti Dubček, naik Gustav Husák seorang tokoh KSC asal Slowakia yang pernah dipenjara baik pada zaman Nazi Hitler berkuasa di Slowakia maupun pada zaman Stalinisme melanda Cekoslowakia, dimana ia dikenai hukuman seumur hidup, tapi kemudian dibebaskan pada tahun 1963.

 Husák mengambil sikap moderat pada waktu terjadi euforia ‘The Prague Spring 1968’. Pada era kepemimpinan Dubček ia dipercayai menjabat Wakil Perdana Menteri, orang kedua di pemerintahan. Dalam perundingan 21-26 Agustus 1968 di Moskow Husák mengambil posisi ‘tengah’ (sentris), berada diantara 2 kubu Dubček dan Vasil Biľák yang berseberangan.
Kenaikan Husak pada April 1969 menjadi Sekretaris Pertama partai, merupakan keputusan kompromis yang diambil dengan memperhatikan  kepentingan Uni Sovyet maupun kubu-kubu yang bertentangan.
Bagi kubu reformis pilihan itu lebih baik daripada membiarkan kepemimpinan partai dipegang oleh Biľák atau Kolder, yang juga pengikut ‘garis keras’ didalam partai KSC.

Husák segera melaksanakan ‘Protokol Moskow’ dan mendapatkan kepercayaan dari Brezhnev dan Pakta Warsawa untuk segera melakukan pembersihan di tubuh partai dan birokrasi secara bertahap dan juga mengembalikan garis-partai kepada program-program partai sebelum naiknya Dubček. Seluruh kebijakan reformis yang diputuskan di zaman Dubček dianulir, terkecuali satu yaitu federalisasi negara bagian Ceko dan Slowakia.

Dalam waktu 2 tahun (1969-1971) Husák berhasil mengganti seluruh pengikut-pengikut Dubček di pemerintahan dan di partai dan menaikkan orang-orang non-reformis, termasuk kelompok Biľák, turut menduduki jabatan-jabatan penting.
Husak menjalankan kekuasaannya dengan ‘pragmatis’, setia kepada PKUS dan partai-partai sekawan tetapi juga tidak menempuh cara-cara represif seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Gottwald dan Novotný.

Husák adalah seorang dosen dan orator ulung, dia pintar membaca situasi dan berusaha menjalankan kekuasaannya dengan menjaga keseimbangan antara berbagai faksi dan kelompok, baik didalam maupun diluar partai. Ia menjalankan kebijakan Normalisasi dibidang politik, ekonomi dan sosial sehingga dengan demikian ia ‘memerintah’ dengan stabil selama 20 tahun lebih, tanpa adanya guncangan-guncangan yang berarti di partai dan di masyarakat, terkecuali pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya.

Dalam awal-awal masa Normalisasi dan Stabilisasi (yang disebut juga ‘masa status quo’) tersebut, keadaan ekonomi negara sedang mengalami pertumbuhan yang baik. Masyarakat memperoleh kesempatan untuk menikmati standard-hidup yang lebih tinggi, sehingga sebagian orang yang berpenghasilan baik, mulai terjerumus kedalam gaya-hidup materialisme dan konsumerisme. Mereka diberikan kesempatan untuk menikmati hidup yang sejahtera dengan diberikannya kemudahan-kemudahan untuk berbelanja barang-barang mewah termasuk memiliki rumah dan mobil baru. Rakyat yang terlena dan sudah melepaskan ‘harapan’ atas enyahnya tentara pendudukan Sovyet, akhirnya juga tidak begitu perduli lagi pada masalah-masalah politik yang terjadi di negerinya.

Pada akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an, keadaan ‘status quo’ politik mulai mencair. Timbul gerakan ‘Charta 77’ pada tahun 1977 yang dimotori oleh pengarang Václav Havel dan kawan-kawan.
Gerakan ini segera mendapat dukungan luas, dari 243 penandatangan pada tahun 1977, pada pertengahan tahun 80-an telah mencapai 12.000 orang penandatangan. Para pimpinan partai KSC kewalahan menghadapi gejolak-gejolak baru di masyarakat, yang ternyata bukan berasal dari pertentangan-internal  didalam partai. Berbagai lapisan masyarakat diluar partai masih tetap menganggap kehadiran pasukan Rusia sebagai ‘okupasi’ suatu negara oleh negara lain, dan bahwa perjuangan untuk kebebasan dan perlindungan HAM adalah bentuk kelanjutan dari semangat patriotisme dan reformasi 1968.

Gerakan lain yang timbul pada tahun 80-an adalah kegiatan kelompok penganut agama Katolik, terutama di kalangan kaum muda, yang selama puluhan tahun mengalami penekanan dan pembatasan. Mereka berbicara senada dengan ‘Charta 77’ dan organisasi lainnya serta menuntut kebebasan yang lebih besar bagi kegiatan keagamaan.

Sementara itu, pada waktu bersamaan muncul pula deru ‘angin perubahan’ yang datangnya bukan dari Barat tetapi justru dari Timur, dari Uni Sovyet yang waktu itu telah berada dibawah kepemimpinan Mikhail Gorbachev, setelah Brezhnev turun dan digantikan sebentar oleh Cernenko dan Juri Andropov. Angin ‘puting beliung’ itu bukan hanya menerpa Cekoslowakia, tetapi hampir semua negara-negara sosialis di Eropah Timur.

Tammatnya Kekuasaan
Mikhail Gorbachev memperkenalkan program Glasnost (Keterbukaan) dan Perestroika (Restrukturisasi) yang memberikan dampak yang luas terhadap kehidupan politik, ekonomi dan sosial di masyarakat yang telah terbiasa dengan sistim yang lama. Dampak itu tidak hanya terjadi di Uni Sovyet tetapi juga di negara-negara tetangganya. Rezim Husak dan KSC yang sudah mapan dengan kondisi ‘status quo’ selama 20 tahun, tidak segera begitu saja menerima ‘angin perubahan’ yang dilancarkan dari Moskow.

Sebaliknya para ex-anggota partai dari zaman reformasi Dubcek 1968, maupun yang masih ada didalam partai KSC, yang terpengaruh dan merasa mendapat angin dari ‘garis baru’-nya Gorbachev berusaha melakukan tekanan-tekanan untuk terjadinya perubahan didalam organisasi dan kebijakan partai, agar tetap berkiblat dengan konsisten kepada Moskow, yang notabene telah dipimpin liberalis Gorbachev.

Namun kekuatan konservatif masih tetap kuat dalam tubuh partai KSC, walaupun di Moskow kekuatan konservatif  sudah digusur oleh kelompok kepemimpinan baru Gorbachev. Menghadapi tekanan-tekanan yang semakin gencar dari kekuatan-kekuatan liberalis, Gustav Husák akhirnya mau tidak mau harus bersikap mendukung angin perubahan tersebut dan pada bulan Maret 1987 ia menyatakan akan melaksanakan glasnost dan perestroika di Cekoslowakia, walaupun dengan setengah hati.

Hal lain yang menambah dinamisasi tuntutan perubahan di Cekoslowakia adalah timbulnya kembali gerakan-gerakan mahasiswa, yang dimulai dengan ‘demonstrasi lilin’ pada 1988 di ibukota Slowakia, Bratislava yang berlanjut dengan gerakan-gerakan mahasiswa di Praha walaupun menyadari akan menghadapi tindakan-tindakan represif dari aparat pemerintah.

Krisis yang juga terjadi di berbagai negara sosialis lainnya, akibat dari munculnya gerakan-gerakan reformasi seperti ‘Solidarnost-’nya Lech Walesa di Polandia dan ‘Duna Kor’ di Hongaria, telah membuat mahasiswa Cekoslowakia termotivasi untuk juga turut bangkit menuntut perubahan.

Puncak pergerakan mahasiswa adalah demonstrasi spontan non-stop sejak 17 November 1989 di Praha, yang mendapat dukungan tidak hanya dari kaum cendekiawan dan politisi-politisi senior lainnya yang bergabung didalam Charta 77, tetapi juga dari kalangan masyarakat luas penduduk ibukota. Bahkan pada saat-saat terakhir, buruh pabrik pun (yang merupakan basis keanggotaan partai KSC) ikut memihak gerakan oposisi dan turut melakukan aksi-aksi pemogokan dan bergabung dengan para demonstran.

Gerakan oposisi kemudian membentuk wadah baru bernama Občanský forum (Civic Forum atau Forum Warga), yang menggabungkan Charta 77, VONS dan berbagai unsur oposisi lainnya untuk lebih kuat dan representatif dalam berunding dengan pihak Pemerintah.
Walaupun aksi demo para mahasiswa dicegah dengan penghadangan represif oleh aparat keamanan, semangat mereka tidak mengendor bahkan terus setiap hari mengadakan unjuk-rasa sampai Desember 1989. Pada 27 November 1989, sebuah pemogokan umum yang bertema ‘Akhiri pemerintahan satu  partai!’ dilakukan oleh penduduk Cekoslowakia sebagai pertanda mendukung gerakan mahasiswa.

Sementara itu beberapa pemerintahan komunis di negara tetangga mulai juga  dilanda krisis yang memuncak, yang secara psikologis berpengaruh pula pada kewibawaan partai KSC. Menghadapi situasi dalam dan luar negeri yang berkembang cepat, posisi pemimpin-pemimpin KSC menjadi semakin terpojok. Mereka menyadari bahwa kepercayaan rakyat kepada partai telah menurun drastis, demikian juga dukungan dari partai-partai sekawan di Eropah Timur tak dapat diharapkan lagi. Beberapa fungsionaris partai mulai bersikap ‘netral’ dan berpihak kepada gerakan mahasiswa dan oposisi yang semakin lantang menuntut perubahan.

Dalam posisi yang semakin defensif demikian, partai KSC pada 28 November 1989 mengumumkan akan membagi kekuasaan dan mengakhiri sistim monopoli kepemimpinan  negara oleh partai KSC.
Pada 10 Desember 1989 atas desakan pihak oposisi, Presiden Gustav Husák untuk pertama kalinya dalam era negara komunis Cekoslowakia, mengangkat sebuah kabinet yang didominasi oleh menteri-menteri non-komunis, dengan Perdana Menteri Marián Čalfa, seorang tokoh KSC yang dapat diterima oleh Civic Forum. Husak kemudian meletakkan jabatan sebagai Presiden hari itu juga.

Tiga minggu kemudian, pada 29 Desember 1989, rakyat Cekoslowakia kembali memiliki seorang presiden non-komunis, yaitu dramawan, budayawan dan aktivis Václav Havel, pemimpin tunggal gerakan oposisi yang pernah berkali-kali ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim yang berkuasa.

Pada saat euforia anti-partai KSC meluas di kalangan masyarakat Cekoslowakia, partai KSC harus mempersiapkan diri menghadapi pemilihan umum demokratis pertama pada bulan Juni 1990. Hasilnya, partai yang telah berganti baju menjadi Partai Komunis Bohemia dan Moravia (‘KSCM’) di negara-bagian Ceko itu, hanya memenangkan 15% suara, sementara di negara-bagian Slowakia Partai Komunis Slowakia (‘KSS’) samasekali tidak memenangkan satu kursi   pun  di Parlemen.

Dengan demikian tammatlah riwayat hegemoni sebuah kekuasaan yang pernah bertakhta selama 41 tahun di bumi Cekoslowakia. Berakhirnya kekuasaan komunis di Cekoslowakia adalah anti-klimaks dari sebuah perjalanan panjang partai, yang pada awalnya dalam membangun sosialisme di Cekoslowakia, mendapat simpati dan dukungan penuh dari mayoritas rakyat Ceko dan Slowakia. Rezim ini runtuh sejalan dengan runtuhnya beberapa rezim komunis di negara-negara Eropah Timur lainnya, pada tahun 1989.

Dan sebagai hasil ‘Revolusi 1989’ yang mencengangkan dunia itu,  naiklah sebuah kekuasaan dan sistim baru, namun yang pada kenyataannya samasekali kebalikan dan berseberangan dengan apa yang dicita-citakan gerakan reformis-sosialis Dubček dan kawan-kawan  pada tahun 1968 maupun Gorbachev pada tahun 1985. Sebuah ironi sejarah yang harus diterima sebagai kenyataan...


GFS
Jakarta, Agustus 2012






[1] Anna Sabatova, From 1968 To Charter 77 To 1989 And Beyond, Radio Free Europe Radio Liberty, 19 August 2008, http://www.rferl.org/content/From_1968_To_Charter_77_To_1989_And_Beyond/1192331.html
[2] Nick Carey: ‘Klement Gottwald’, Radio Praha, 22 March 2000, http://www.radio.cz/en/section/czechs/klement-gottwald

Jumat, 21 Agustus 2015

  • "THE  VELVET REVOLUTION                           Runtuhnya Kekuasaan  Komunis di Cekoslowakia"                Oleh G.F. Simorangkir     
  •    
3. Invasi Pasukan Pakta Warsawa
(Lanjutan:  Hal 78-82)

Ketegangan Pra-Kongres
Kongres partai KSC tetap dijadwalkan pada 9 September 1968. Namun seminggu setelah pertemuan Bratislava, telah beredar desas-desus di Praha, bahwa sebagian besar kelompok anti-reformis akan disingkirkan dari Komite Sentral KSC. Diisukan juga bahwa sebuah ‘blacklist’ telah disiapkan oleh kelompok reformis pendukung Dubcek. Menghadapi situasi seperti ini, akan sulit bagi kekuatan konservatif untuk bisa menang, terkecuali dengan meminta dukungan penuh dari Uni Sovyet. Kelompok ini berusaha meyakinkan Uni Sovyet tentang bahaya akan terjadinya instabilitas politik di Cekoslowakia oleh kekuatan-kekuatan kontra-revolusi. Mereka menggunakan ‘Laporan Kaspar’ sebagai dasar argumentasinya. (Jan Kaspar adalah Ketua Departemen Informasi Komite Sentral KSC, yang ditugaskan oleh partai untuk membuat laporan itu).
Laporan Kaspar memuat tinjauan menyeluruh tentang situasi politik pada umumnya di Cekoslowakia, sebagai bahan untuk dibahas di Kongres. Laporan itu meramalkan bahwa sebuah Komite Sentral yang kukuh dan kepemimpinan yang tegas akan sulit didapatkan di dalam Kongres Partai itu. Laporan diterima oleh para anggota Presidium Komite Sentral pada 12 Agustus 1968. Dua anggota Presidium Kolder dan Indra ditugaskan untuk mengevaluasi laporan tersebut untuk disampaikan pada rapat Presidium tanggal 20 Agustus 1968.
Pada rapat Presidium KSC tanggal 20 Agustus 1968 malam, Kolder dan Indra merujuk pada bahaya ‘kontra-revolusi’ yang dipaparkan pada Laporan Kaspar itu dan mengusulkan agar  segera umumkan ‘keadaan darurat’ dan meminta bantuan dari ‘negara sahabat’.[1]
Namun keputusan belum sempat diambil, karena tak disangka pada malam itu juga pasukan Uni Sovyet dan Pakta Warsawa telah menyerbu dan menerobos perbatasan Cekoslowakia. Tetapi Presidium melalui Presiden Svoboda pada malam itu masih sempat memutuskan dan  —melalui radio pemerintah  sekitar jam 01.00— mengumumkan kepada rakyat Cekoslowakia agar tidak mengadakan perlawanan militer, serta  mengeluarkan  sebuah pernyataan yang mengutuk intervensi militer Uni Sovyet dan Pakta Warsawa tersebut.

Menjelang subuh, empat pemimpin reformasi 1968 itu: Dubček, Černík, Smrkovský dan Kriegel ditangkap oleh pasukan Pakta Warsawa dan ditawan di Kantor Presidium KSC di Praha. Pada keesokan harinya sekelompok kolaborator pendukung invasi militer, menyebarkan selebaran-selebaran yang mengatakan bahwa pasukan Pakta Warsawa datang adalah untuk “menolong kelas pekerja dan rakyat Cekoslowakia untuk mempertahankan tujuan-tujuan sosialisme”.
Pada sekitar jam 08.00 pagi, penduduk Praha sudah keluar rumah dan mereka mengerubungi tank-tank dan pasukan Uni Sovyet di Old Town Square dan Wenceslaus Square serta memprotes tindakan invasi tersebut.
Dubček dan kawan-kawan yang ditawan, segera dibawa dengan tank ke lapangan terbang dan diboyong ke Moskow untuk dihadapkan dalam perundingan dengan pemimpin-pemimpin Uni Sovyet.

Pakta Warsawa Menduduki Cekoslowakia
Sebenarnya invasi ke Cekoslowakia sudah ditentukan pada tanggal 18 Agustus 1968 pada rapat pimpinan Politbiro Uni Sovyet di Moskow. Menurut Komandan Pasukan Pusat Uni Sovyet Jenderal Alexander Mayorov, Menteri Pertahanan Andrei Grechko dengan tegas menyatakan kepada sidang bahwa “Invasi akan tetap dilakukan, walau harus berakhir dengan Perang Dunia Ke-III sekalipun…”.[2]

21 Agustus 1968. Mahasiswa mengajak berdialog tentara
pasukan pendudukan  (Foto: Corbis)

Uni Sovyet memutuskan untuk menginvasi Cekoslowakia pada malam 20-21 Agustus 1968 karena melihat bahwa KSC sudah semakin tak sepenuhnya mengendalikan situasi politik dalam negeri, dan gejala-gejala ‘instabilitas’ politik sudah semakin nyata. Pasukan Uni Sovyet didalam serangan yang diberi nama sandi ‘Operasi Danube’ itu didukung oleh tank-tank dan pasukan-pasukan Pakta Warsawa dari negara-negara Bulgaria, Polandia, Jerman Timur dan Hongaria. Dalam tempo 24 jam pasukan Pakta Warsawa sudah berhasil menduduki seluruh Cekoslowakia, dengan dukungan  sekitar 200.000 tentara dan sekitar 2.000 tank dan kendaraan berat lainnya. 
’Operation Danube’ —dinamakan berdasarkan nama sungai Danube yang mengalir dari Jerman sampai ke Laut Hitam di Rumania tersebut— adalah operasi militer terbesar di Eropah sesudah Perang Dunia Ke-II. Invasi yang direncanakan dengan cermat dan terkoordinasi itu dilakukan melalui berbagai pintu perbatasan Cekoslowakia serentak dari berbagai arah, sementara sebuah pasukan khusus Angkatan Udara Uni Sovyet tengah malam melumpuhkan lapangan terbang Ruzyne di Praha, untuk membuka jalan bagi pendaratan bertubi-tubi pesawat-pesawat pengangkut ‘Antonov 12’ yang melakukan penurunan pasukan khusus Uni Sovyet beserta artileri dan tank-tank ringan non-stop dari malam sampai pagi. Pasukan terlatih inilah yang segera menduduki kantor-kantor dan instansi-instansi penting di Praha dan kota-kota lainnya, tanpa sedikitpun mendapatkan perlawanan. 
Pasukan militer Cekoslowakia tidak melakukan perlawanan dan tidak dilucuti oleh pasukan Pakta Warsawa, tetapi kepada mereka diperintahkan untuk tidak keluar dari barak-barak militer mereka
Korban yang terjadi selama penyerbuan Cekoslowakia itu adalah 72 orang meninggal dunia (diantaranya 17 orang di Slowakia), 266 luka berat dan 436 luka ringan.
Sebagai akibat dari invasi militer ini segera pula terjadi gelombang  emigrasi atau pelarian dari Cekoslowakia ke negara-negara Barat yang jumlahnya mencapai 70.000 orang, bahkan ada yang mengatakan mencapai 300.000 orang


Tank-Tank pasukan Pakta Warsawa di subuh hari, dari segala penjuru pintu perbatasan
menerobos dan menduduki kota2 Cekoslowakia dalam tempo 24 jam (Foto: CTK)


Rakyat Cekoslowakia Marah
Rakyat Cekoslowakia pada umumnya tidak mengadakan perlawanan terhadap invasi tersebut. Sesuai anjuran Presidium, disusul seruan Presiden (Jenderal) Svoboda untuk tidak melakukan aksi-aksi yang bisa memprovokasi tentara Pakta Warsawa, mereka menghindari melakukan demonstrasi dan pemogokan besar-besaran dan hanya melakukan pemogokan umum simbolis selama 1 jam pada tanggal 23 Agustus 1968.
Sikap penentangan dan kemarahan masyarakat dinyatakan dengan aksi-aksi spontan tanpa-kekerasan. Di Praha dan berbagai kota lainnya penduduk Ceko dan Slowakia ‘mengajak’ tentara-tentara Sovyet untuk berdebat dan berdiskusi untuk menyatakan ketidak-setujuan mereka atas invasi tersebut.

Mahasiswa dan penduduk Praha memprotes kehadiran
tentara Sovyet.(Foto: Libor Hajsky/CTK/AP)

Mereka memboikot untuk melayani tentara-tentara Pakta Warsawa di toko-toko dan restoran-restoran. Selebaran-selebaran, poster-poster, gambar-gambar dan siaran-siaran  mereka sebarkan atau gambarkan di dinding-dinding kota, yang mengutuk para agresor, pemimpin-pemimpin Uni Sovyet dan para kolaborator didalam negeri. Demikian juga radio-radio illegal berkumandang dari tempat-tempat rahasia.
Nama-nama jalan mereka hapus atau pindahkan papannya agar kendaraan-kendaraan tentara pendudukan kesasar ke tempat lain. Sementara itu gambar-gambar Svoboda dan Dubček mereka pajang dalam aksi-aksi damai atau tempelkan diberbagai tempat strategis.
Seluruh negeri ‘menangis’ atas terjadinya peristiwa kelam tersebut. Para cendekiawan,akademisi, seniman, budayawan dll. yang hampir semuanya adalah anggota-anggota partai (walaupun belum tentu loyal terhadap Uni Sovyet) tidak bisa mengerti kenapa sebuah ‘negara sahabat’ sampai-hati untuk menginvasi dan menduduki negara mereka. Demikian juga kaum buruh, yang menjadikan Uni Sovyet sebagai ‘model’nya, merasa sangat terpukul dengan kejadian tersebut.


Pasukan Pakta Warsawa 21 Agustus 1968 subuh
memasuki ibukota Praha.  (Foto: www.daylife.com)
Yang paling marah adalah mahasiswa. Pada mulanya mereka melakukan berbagai aksi-tanpa-kekerasan, bahkan mahasiswi-mahasiswi membawa bunga untuk diserahkan kepada tentara  Rusia. Namun di kemudian hari mereka semakin tak dapat menahan diri dan mulai melakukan aksi-aksi provokatif seperti melempari kendaraan tentara pendudukan dengan batu, membalikkan mobil-mobil di jalan, membakar tank Rusia dengan semacam ‘bom Molotov’ dan sebagainya.

‘Protes Maut’ Jan Palach
Puncak daripada manifestasi kemarahan mahasiswa-mahasiswa ini adalah aksi bunuh-diri yang dilakukan oleh Jan Palach, mahasiswa Fakultas Falsafat Charles University, yang membakar dirinya secara demonstratif di Wenceslaus Square tanggal 16 Januari 1969 (meninggal 3 hari kemudian pada 19 Januari 1969) sebagai protes atas pendudukan Cekoslowakia oleh Pakta Warsawa.

Pemuda/mahasiswa yang tak sabar, memprotes invasi
Sovyet  dengan aksi-aksi yang lebih radikal
(Foto: AP Photo/Libor Hajsky/CTK)

Yang menarik adalah, komentar seorang dokter, Jaroslava Moserova, yang turut merawat Jan Palach di Rumah Sakit Charles University, setelah kejadian tragis tersebut. Dokter yang kelak dikenal sebagai anggota Parlemen di zaman pasca-Komunis itu, mengatakan 34 tahun kemudian, dalam wawancaranya kepada wartawan Radio Prague (2003) bahwa Palach melakukan aksi bakar-dirinya pada 5 bulan setelah Invasi Pakta Warsawa itu, bukanlah semata-mata sebagai protes terhadap okupasi Uni Sovyet, tetapi dia melakukannya, terutama sebagai protes terhadap ‘demoralisasi’ penduduk Cekoslowakia yang diakibatkan oleh okupasi tersebut. Antara lain Moserova mengatakan:

“Saya berbicara dengan dia untuk waktu yang cukup lama, sebab dia sudah mampu bicara sejak  pemeriksaan selesai –belakangan dia mulai merasa sulit untuk bernafas–, jadi dia tidak hanya mampu berbicara, tetapi alasannya mengapa dia berbuat demikian, cukup jelas. (Jadi) utamanya bukanlah masalah penentangan dia terhadap pendudukan Uni Sovyet, tetapi  adalah demoralisasi yang kemudian terjadi, bahwa rakyat tidak saja menyerah, tapi malah menerima (kenyataan tersebut). Dan dia ingin menghentikan demoralisasi tersebut…”.[1]

Namun ‘pesan moral’ yang ingin disampaikan Jan Palach itu tak sampai bergema jauh, sebab Cekoslowakia segera terperangkap kedalam era Normalisasi dan Stabilisasi selama 20 tahun dibawah Gustav Husak,  pemimpin baru pengganti Dubček.

 (berlanjut...)

[1]Rob Cameron, David Vaughan : ‘Jaroslava Moserova – remembering Jan Palach , Radio Prague, 21 Januari 2003,  http://www.radio.cz/en/section/witness/jaroslava-moserova-remembering-jan-palach/
Lengkapnya dr. Moserova mengatakan sebagai berikut  :I spoke with him for quite a long time, because he was able to speak right after the admission - later on he started having great difficulties breathing - so he not only could talk, but the reason why he did it was quite clear. It was not so much in opposition to the Soviet occupation, but the demoralization which was setting in, that people were not only giving up, but giving in. And he wanted to stop that demoralization. I think the people in the street, the multitude of people in the street, silent, with sad eyes, serious faces, which when you looked at those people you understood that everyone understands, all the decent people who were on the verge of making compromises…”





[1] Sumber: History of Czechoslovakia 1948-1989, Wikipedia the Free Encyclopedia, http://en.wikipedia.org/

[2] Matthew Frost: Czech Republic: A Chronology Of Events Leading To The 1968 Invasion, Radio Free Europe    Radio Liberty, http://www.rferl.org/content/article/1089303.html