Dikutip dari postingan sobat Rahardi Ramelan di Facebook...
PROYEK STRATEGIS, INDUSTRI DAN TEKNOLOGI
Rahardi Ramelan
Pengamat Teknologi dan Masyarakat
Presiden Jokowi baru saja mengadakan perubahan kabinet, khusunya pada
tingkat koordinasi. Tanpa memberikan pendapat mengenai menteri yang
dicopot dan menteri yang baru, bangsa ini tetap menghadapi berbagai
masalah besar terutama dalam bidang ekonomi.
Berbagai proyek besar
dan strategis sudah menghadang kita. Beberapa proyek strategis yang
memiliki kandungan teknologi tinggi antara lain Alutsista, Pembangkit
Listrik, dan Kereta Api termasuk proyek Kereta Api Cepat atau High Speed
Train, serta pengadaan Pesawat Terbang oleh Garuda. Proyek-proyek ini
dilaksanakan baik sebagai investasi pemerintah dengan memanfaatkan APBN,
pinjaman, investasi BUMN, tetapi juga investasi swasta dengan skema
BTO (Build Transfer Operate) ataupun BOT (Build Operate Transfer).
Untuk proyek-proyek strategis dengan kandungan teknologi yang tinggi,
pada tahun 1980-1998 sebagai program mendukung industri dalam negeri,
kita menerapkan kebijakan keharusan dilakukannya off-set dan alih
teknologi. Kebijakan ini telah memacu berkembangnya industri
manufakturing dan industri strategis, serta dikuasainya berbagai
teknologi. Disisi lain kita juga telah mendorong lahirnya beberapa
perusahaan enjiniring yang bisa melakukan proyek-proyek besar secara
turn-key. Beberapa Pabrik Pupuk dan Kimia Dasar pada waktu itu, secara
keseluruhan telah dibangun oleh perusahaan-perusahaan enjiniring
tersebut. Sejalan dengan itu telah dibangun berbagai laboratorium
pengujian dan penelitian. Tetapi dengan pergantian pemerintah dan
berubahnya kebijakan sejak tahun 1999 maka kita menghadapi yang sering
saya katakan sebagai interrupted technological development.
Dengan
adanya proyek-proyek besar dihadapan kita dalam waktu-waktu yang akan
datang, seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai titik balik menuju
kemampuan peningkatan teknologi dan industri manufakturing, kita perlu
menegakkan kembali tekno-ideologi. Dalam pengadaan Alutsista misalnya,
pengaturan telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2012,
tentang Industri Pertahanan.
Pasal 43 , ayat 5 antara lain menyatakan bahwa pengadaan Alutsista harus memperhatikan, antara lain
o Imbal dagang, kandungan lokal/offset minimum 85%
o Kandungan lokal/offset minimum 35%, peningkatan 10%/tahun sampai 5 tahun. Berarti 85% dalam 5 tahun.
Semangat yang terkandung dalam Undang-Undang ini perlu diterapkan
sebagai kebijakan utama dalam pengadaan proyek-proyek besar strategis
yang akan datang.
Proyek Pembangkit Tenaga Listrik 35 ribu MW,
Pengadaan Lokomotif dan Gerbong Kereta Api, Proyek Kereta Api Cepat
Jakarta – Bandung, Pengadaan pesawat terbang oleh Garuda, dan Pengadaan
Alutsista bisa menjadi modal dan batu lompatan dalam meningkatkan
pembangunan dan kemampuan industri manufakturing.
Kita masih
memiliki industri manufakturing yang tangguh, baik yang tergabung dalam
BUMN Strategis, BUMN, dan perusahaan-perusaahan industri swasta nasional
yang telah berkembang. Industri elektronika dan IT saat ini berkembang
dengan pesat. Ini merupakan modal kita yang sangat penting. Yang
diperlukan adalah tekad kita semua, menggalang kekuatan dan semangat
Indonesia Incorporated.
Semoga dalam memperingati Kemerdekaan
Bangsa Indonesia yang ke 70, kita bersama bisa bertekad menegakkan
industri dan teknologi kita.
Jakarta 15 Agustus 2015.
(rahardi@ramelan.com) hp 0811832105
(Foto Reuni di Hotel Kemang 2008)
Kamis, 27 Agustus 2015
Minggu, 23 Agustus 2015
- THE VELVET REVOLUTION Runtuhnya Kekuasaan Komunis di Cekoslowakia Oleh G.F. Simorangkir
PRAKATA (Hal 1 - 14)
1968 dan 1989
Benang Merah
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada benang merah antara
peristiwa bersejarah tahun 1968 dan tahun 1989 di negara yang pernah bernama
Republik Sosialis Cekoslowakia.
Pada tahun 1968, gerakan reformasi dan liberalisasi yang
terkenal dengan istilah ‘Pražské jaro 1968’ (‘The Prague Spring 1968’ atau ‘Musim Semi Praha 1968’)
dibawah pimpinan Alexander Dubček, pernah menjadi harapan rakyat
Cekoslowakia untuk terjadinya perubahan dan demokratisasi dalam sistim negara
yang telah 20 tahun menjadi ‘negara satelit‘ Uni Sovyet tersebut. Tetapi
gerakan yang kemudian mengilhami berbagai ‘musim semi‘ politik di negara-negara lain itu tidak
sempat berumur panjang, karena segera diintervensi oleh masuknya pasukan Uni Sovyet dan Pakta Warsawa
menduduki Cekoslowakia pada tanggal 20 Agustus 1968 malam.
Barulah 21 tahun kemudian, pada November 1989, sebuah
gerakan reformasi total dan radikal yang disebut juga Sametová revoluce –atau ‘The
Velvet Revolution‘– kembali melanda Republik Cekoslowakia, namun
kali ini sukses menurunkan rezim yang telah 41 tahun berkuasa di negara tersebut.
Benang merah yang menghubungkan kedua peristiwa tersebut
adalah semangat patriotisme anti-dominasi politik dan militer Uni Sovyet di
Cekoslowakia, yang telah berlangsung sejak 1948
serta kekecewaan mereka atas hilangnya kebebasan-kebebasan tertentu yang
pernah mereka nikmati di zaman sebelumnya.
Sebagian
besar para penggerak The Velvet Revolution 1989 adalah mantan
mahasiswa, pemuda dan aktivis reformasi 1968. Namun berbeda dengan cara-cara
perjuangan tahun 1968, mereka lebih
memilih cara-cara yang tidak konfrontatif. Gerakan Charta 77 (kelompok
oposisi yang muncul pada 1977) misalnya, dengan jelas mendasarkan perjuangan
mereka pada hak-hak azasi manusia (HAM) yang dijamin oleh 2 buah Kovenan PBB yang telah ditandatangani
oleh berbagai negara di seluruh dunia, termasuk oleh pemerintah Cekoslowakia
pada tahun 1968.
Anna Sabatová, salah seorang pendiri kelompok tersebut mengatakan:
“Charta 77 adalah produk dari sebuah momen
historis dan unik, yang mempunyai akar pada peristiwa-peristiwa tak terlupakan
tahun 1968. Kebanyakan dari kami penandatangan Charta tersebut didorong oleh
perasaan-perasaan kami yang bertolak dari hari-hari tersebut….
Setelah (Kovenan-Kovenan)
itu ditandatangani, dia menjadi bagian
dari sistim hukum Cekoslowakia dan ini memberi peluang kepada Charta 77 untuk
mengajukan dengan tanpa lelah, sebuah ajakan yang simpel dan tak terbantahkan
yaitu: agar Pemerintah menaati sendiri ketetapan-ketetapan hukumnya”.[1]
Dari mereka yang dulu turut berperan dalam protes-protes
dan pemogokan tahun 1968 ataupun yang sekedar menjadi saksi-bisu pada peristiwa
tersebut, ada sejumlah orang yang dari waktu ke waktu menggalang sikap-sikap
oposan terhadap kekuasaan yang baru. Mereka ini, yang sebagian besar adalah
cendekiawan, seniman dan budayawan, beserta anggota-anggota liberalis partai
KSC yang telah dipecat, tidak lagi memilih cara perjuangan politik-praktis yang
sewaktu-waktu bisa diberangus dan dinyatakan ilegal. Mereka memilih jalan
‘perlawanan-tanpa-kekerasan’ dan tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku,
dengan membentuk kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak azasi manusia,
seperti Charta 77, VONS, dll.
Reformasi 1989 berawal ketika mahasiswa-mahasiswa
Cekoslowakia yang tadinya hanya mengadakan peringatan 50 tahun gugurnya
mahasiswa Ceko Jan Opletal (yang ditembak mati oleh tentara Nazi Jerman pada 17
November 1939), belakangan ‘membelokkan’ aksinya menjadi aksi orasi dan unjuk
rasa dan berusaha ‘menggoyang’ pemerintahan Gustav
Husák (pengganti Alexander Dubček) dengan demo-demo nonstop selama 2 minggu di bulan
November 1989 itu. Mahasiswa kemudian memberikan jalan kepada tokoh-tokoh
oposisi yang telah teroganisasi, untuk menjadi jurubicara mereka dalam proses
perundingan dengan rezim yang berkuasa.
Perjuangan mahasiswa dan rakyat Cekoslowakia kali ini
berhasil. Perkembangan situasi politik di dalam dan luar negeri (blok Eropah
Timur) saat itu sama sekali tidak menguntungkan bagi partai KSC untuk berkuasa
terus. Pemerintahan Husák pun akhirnya turun dan
menyerahkan kekuasaan kepada pihak oposisi.
Dalam jajaran kekuasaan baru yang kemudian menggantikan
rezim komunis, tokoh-tokoh dari kalangan eksponen 1968 tsb (angkatan ‘The
Prague Spring’) turut menduduki berbagai posisi penting. Bahkan Alexander Dubček pun, yang telah disingkirkan dari kehidupan politik pada
1969, dinaikkan kembali ke panggung politik dan menjabat Ketua Majelis Federal
dari 1989 sampai ia meninggal pada 1992.
Pertarungan Kekuasaan
Sejarah Republik Sosialis Cekoslowakia dimulai dari
naiknya rezim komunis pada tahun 1948, tetapi sesungguhnya pertarungan
kekuasaan didalam Partai Komunis Cekoslowakia (KSC) telah dimulai sejak
berakhirnya Perang Dunia Ke-II.
Waktu itu kepemimpinan partai dipegang oleh Rudolf Slanský (Sekretaris
Jenderal) dan Klement Gottwald
(Ketua) yang juga menjabat Perdana Menteri Cekoslowakia. Selama Perang Dunia Ke-II mereka memilih mengungsi ke
Moskow dan mengkoordinir perlawanan terhadap Nazi Jerman dari sana. Di Moskow
mereka termasuk pemimpin-pemimpin negara tetangga Sovyet yang dekat dengan Jozef Stalin.
Sekembalinya ke Cekoslowakia mereka berdua berhasil
membangun kembali partai KSC dan memenangkan pemilu pada 1946 dengan meraih
sekitar 40% suara pemilih. Pemerintahan dijalankan oleh koalisi Front Nasional, sebuah koalisi 6 partai,
dimana KSC menduduki 2/3 kursi, sementara yang 5 partai lagi hanya memperoleh
1/3 bagian.
Tetapi kekompakan dan kerjasama antara kedua pemimpin
Cekoslowakia tersebut tidak berlangsung lama. Menjelang tahun 1950-an Jozef Stalin yang menjalankan kekuasaan
‘tangan besi’ di Uni Sovyet, mencurigai orang-orang partai komunis di
negara-negara Eropah Tengah dan Timur dan terutama orang-orang komunis/sosialis
keturunan Yahudi, sebagai tidak loyal kepada Uni-Sovyet.
Stalin
segera melakukan gerakan pembersihan terhadap orang-orang tersebut, yang
berdampak pada timbulnya pertentangan internal dan saling mencurigai di
berbagai partai di negara setempat antara yang mendukung dan menentang Stalin.
Di Uni Sovyet sendiri, Stalin mengadakan pembersihan
terhadap orang-orang yang dituduh tidak loyal, terutama yang dicap sebagai
pengikut-pengikut Trotsky.
Sementara itu di Yugoslavia, Jozip Broz Tito (yang kemudian dicap Trotskyis oleh rezim Stalin)
sedang membangun sistim sosialis sendiri dan tidak mau bergabung dengan Blok
Uni Sovyet.
Gottwald adalah pengikut setia dari cara kepemimpinan
Stalin. Sebaliknya Slanský yang keturunan
Yahudi, bertentangan dengan Stalin, menyebabkan ia kemudian dicurigai, ditangkap dan diadili
dengan tuduhan sebagai ‘Titois’ dan ‘Zionis’. Dia disidang dalam serial
‘pengadilan politik’ bersama 13 orang lainnya dan dijatuhi hukuman mati, yang dilaksanakan
pada Desember 1952.
Kembali ke tahun 1948, setelah memenangkan pemilu 1946
Perdana Menteri Klement Gottwald berhasil membentuk kabinet ‘Front Nasional’, yang melibatkan juga
tokoh-tokoh dari 5 partai non-komunis. Tetapi kabinet koalisi tersebut tidak
berjalan lama. Melalui berbagai intrik yang dilakukan oleh orang-orang partai
KSC, terutama melalui menteri-menteri komunis yang ada didalam kabinet, 12
orang menteri non-komunis akhirnya mengundurkan diri dari kabinet, yang
menyebabkan Presiden Edvard Beneš mengambil keputusan
untuk membubarkan kabinet.
Gottwald kemudian membentuk kabinet baru, yang didominasi
oleh menteri-menteri dari partai komunis, dan dengan demikian terciptalah
pemerintahan satu partai. Peristiwa inilah yang kemudian disebut orang sebagai ’kudeta-tak-berdarah’
atau ’kudeta-konstitusional’ Februari 1948, yaitu pengambil-alihan kekuasaan
negara sepenuhnya oleh partai komunis.
Pada tahun-tahun berikutnya Gottwald dan
pengikut-pengikutnya melakukan
pembersihan, mula-mula dengan menyingkirkan orang-orang non-komunis yang
dicurigai sebagai ‘agen-agen Barat’, baru kemudian pembersihan terhadap
orang-orang partai KSC sendiri. Di zaman itu berlangsung
penangkapan-penangkapan berdasarkan tuduhan-tuduhan yang belum tentu benar dan
banyak orang partai yang harus menjalani pengadilan-pengadilan politik, dihukum
mati atau dipenjara, tanpa melalui proses peradilan yang layak. Selama 5 tahun
Gottwald berkuasa, sebanyak 230 orang dijatuhi hukuman mati dan sekitar 200.000
orang dikirim menjalani hukuman di penjara-penjara atau kamp-kamp kerja-paksa.[2]
Perubahan-perubahan politik selanjutnya di Cekoslowakia,
baru terjadi setelah Stalin dan Gottwald meninggal pada tahun 1953. Sebagai
pengganti Gottwald, partai ditunjuk Antonín Novotný yang menduduki
jabatan Sekretaris Jenderal KSC dan Antonín Zápotocký yang menduduki jabatan Presiden Republik Cekoslowakia.
Tak lama setelah Stalin meninggal segera timbul gelombang
Destalinisasi di berbagai negara
sosialis di Eropah Timur yang dimulai oleh Nikita
Khrushchev di Uni Sovyet, dengan pidato-pidatonya yang mengutuk ‘kultus individu’ di zaman Stalin.
Namun di Cekoslowakia, Novotný tidak begitu
tanggap dalam menjalankan perubahan-perubahan di bidang politik. Destalinisasi berlangsung lambat
dibandingkan negara-negara sosialis lainnya dan baru dimulai pada tahun 1956.
Sementara itu Novotný sendiri (yang sejak 1957
juga merangkap jabatan Presiden) menjalankan kekuasaannya dengan cara
konservatif dan masih tetap menjalankan sentralisme selama kira-kira 10 tahun.
Terutama ia masih melakukan pengekangan di bidang seni dan media-massa, walau
sebenarnya pengendoran konservatisme di negara-negara komunis lain telah
dimulai sejak Stalin meninggal.
Walau akhirnya Novotný
menyetujui liberalisasi dalam batas-batas tertentu dan mendekritkan rehabilitasi
terhadap tokoh-tokoh partai yang telah dihukum mati di zaman Gottwald, ia masih
tetap saja berkiblat ke Moskow. Sikapnya yang kaku dan otoriter menyebabkan ia
kurang populer di mata rakyat dan terlebih-lebih di kalangan mahasiswa. Pada
tahun 1967 Novotný mulai kehilangan kontrol, terutama setelah menguatnya
suara-suara yang menuntut langkah-langkah perubahan dan pertanggung-jawaban
para pemimpin serta segera diadakannya pemilihan-pemilihan yang bebas dan
wajar.
Pada waktu bersamaan, didalam tubuh partai mulai timbul
gerakan-gerakan yang menuntut adanya perubahan politik dan diperlonggarnya
kendali Uni Sovyet. Di pihak lain, golongan konservatif didalam partai berusaha keras mempertahankan sistim yang ada
dan mencurigai arah tuntutan perubahan-perubahan tersebut sebagai
anti-pemerintah.
Sementara itu keadaan politik yang bergejolak, diperparah
pula oleh perkembangan di bidang ekonomi negara yang semakin memburuk. Pada
akhir tahun 1967 pertarungan didalam tubuh KSC semakin memuncak. Dalam kongres
partai tanggal 5 Januari 1968, Novotný setelah
melihat dukungan terhadap dirinya semakin berkurang, terpaksa meletakkan
jabatan dan menyerahkan kekuasaan kepada penggantinya, Alexander Dubček.
Dubček dan kelompok yang tidak puas dengan kondisi politik dan
ekonomi pada waktu itu, segera memulai gerakan reformasi dan liberalisasi yang
kemudian terkenal dengan istilah Pražské jaro 1968 (‘The Prague Spring 1968’). Mereka memperkenalkan ide-ide
alternatif tentang sosialisme yang diberi nama ’sosialisme (berwajah) manusiawi’, yang dicurigai dan ditentang
oleh kubu konservatif.
Dubček mendapat dukungan luas di masyarakat karena ia berusaha
meninggalkan watak represif rezim komunis, memberikan berbagai kebebasan kepada
masyarakat dan memberi kebebasan kepada terbentuknya organisasi-organisasi
sosial dan politik diluar kontrol KSC. Kalangan cendekiawan dan terutama
pengarang turut bersuara lantang dan menuntut lebih banyak lagi liberalisasi dan
demokratisasi.
Di pihak lain, perkembangan yang terjadi di masyarakat,
membuat kubu konservatif atau ‘garis keras’ partai, serta pimpinan Uni Sovyet dan
Pakta Warsawa semakin khawatir dan berusaha menekan Dubček agar mengurungkan niatnya melanjutkan liberalisasi.
Mereka mengkhawatirkan Dubček tidak mampu dan akan
kehilangan kendali atas situasi politik dan ekonomi Cekoslowakia.
Leonid
Brezhnev dan pemimpin-pemimpin
Sovyet lainnya berusaha keras mengerem atau membatasi arus liberalisasi di
Cekoslowakia dengan melakukan berkali-kali perundingan dengan pihak Dubček dan kawan-kawan. Dalam perundingan-perundingan tersebut, Dubček ngotot dan berusaha meyakinkan Uni Sovyet bahwa dia
adalah tetap sekutu terpercaya Uni Sovyet dan reformasi adalah masalah dalam
negeri yang bisa ia atasi.
Walau Dubček dalam
perundingan-perundingan menerima saran-saran dari sekutunya, tetapi yang
terjadi di lapangan adalah perkembangan yang semakin memprihatinkan bagi Uni
Sovyet. Di pihak lain, kubu ‘garis keras’ KSC, yang semakin tak didengarkan
oleh pendukung-pendukung reformasi, mengusulkan kepada Uni Sovyet agar segera
bertindak untuk mengatasi keadaan.
Akhirnya pada 20 Agustus 1968 malam, pasukan-pasukan Uni
Sovyet dan Pakta Warsawa menyerbu negara Cekoslowakia dari segala pintu
perbatasan dan menduduki Cekoslowakia dalam waktu 24 jam. Dubček dan pemimpin-pemimpin Cekoslowakia lainnya ‘diculik’ dan
diterbangkan ke Moskow untuk berunding dengan pemimpin-pemimpin Uni Sovyet.
Didatangkan pula ke Moskow pimpinan KSC lainnya, yang dari kubu reformis,
konservatif maupun yang sentris (‘tengah’).
Dubček dan kawan-kawan setelah 6 hari perundingan yang
melelahkan, akhirnya ’terpaksa’ menerima dan menandatangani kesepakatan yang
bernama ‘Protokol Moskow’ tersebut
dan pulang kembali ke Praha pada tanggal 27 Agustus 1968.
Perombakan besar-besaran kemudian segera terjadi didalam
partai dan pemerintahan, dibawah tekanan dan kontrol dari penasehat-penasehat politik
dan militer Uni Sovyet. Segera setelah perombakan dilakukan, menyusul pembersihan besar-besaran didalam partai.
Seluruh pengikut-pengikut Dubček diganti
secara bertahap dengan orang-orang KSC pro-Sovyet. Dubček sendiri masih dibiarkan berkuasa sampai April 1969 namun
semua hasil-hasil reformasi yang telah dicapai, dianulir atau dikembalikan oleh
rezim baru ke kondisi ‘sebelum Reformasi 1968’.
Stabilisasi Kekuasaan
Sebagai pengganti Dubček, naik Gustav Husák seorang tokoh KSC asal Slowakia yang pernah dipenjara
baik pada zaman Nazi Hitler berkuasa di Slowakia maupun pada zaman Stalinisme
melanda Cekoslowakia, dimana ia dikenai hukuman seumur hidup, tapi kemudian
dibebaskan pada tahun 1963.
Husák
mengambil sikap moderat pada waktu terjadi euforia
‘The Prague Spring 1968’. Pada era kepemimpinan Dubček ia
dipercayai menjabat Wakil Perdana Menteri, orang kedua di pemerintahan. Dalam
perundingan 21-26 Agustus 1968 di Moskow Husák mengambil posisi ‘tengah’
(sentris), berada diantara 2 kubu Dubček dan Vasil Biľák yang
berseberangan.
Kenaikan Husak pada April
1969 menjadi Sekretaris Pertama
partai, merupakan keputusan kompromis yang diambil dengan memperhatikan kepentingan Uni Sovyet maupun kubu-kubu yang
bertentangan.
Bagi
kubu reformis pilihan itu lebih baik daripada membiarkan kepemimpinan partai
dipegang oleh Biľák atau
Kolder, yang juga pengikut ‘garis keras’ didalam partai KSC.
Husák
segera melaksanakan ‘Protokol Moskow’
dan mendapatkan kepercayaan dari Brezhnev dan Pakta Warsawa untuk segera melakukan pembersihan di tubuh partai dan birokrasi
secara bertahap dan juga mengembalikan garis-partai kepada program-program
partai sebelum naiknya Dubček.
Seluruh kebijakan reformis yang diputuskan di zaman Dubček
dianulir, terkecuali satu yaitu federalisasi
negara bagian Ceko dan Slowakia.
Dalam
waktu 2 tahun (1969-1971) Husák berhasil mengganti seluruh
pengikut-pengikut Dubček di
pemerintahan dan di partai dan menaikkan orang-orang non-reformis, termasuk
kelompok Biľák, turut
menduduki jabatan-jabatan penting.
Husak menjalankan
kekuasaannya dengan ‘pragmatis’,
setia kepada PKUS dan partai-partai sekawan tetapi juga tidak menempuh
cara-cara represif seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Gottwald dan Novotný.
Husák
adalah seorang dosen dan orator ulung, dia pintar membaca situasi dan berusaha
menjalankan kekuasaannya dengan menjaga keseimbangan antara berbagai faksi dan
kelompok, baik didalam maupun diluar partai. Ia menjalankan kebijakan Normalisasi dibidang politik, ekonomi
dan sosial sehingga dengan demikian ia ‘memerintah’ dengan stabil selama 20
tahun lebih, tanpa adanya guncangan-guncangan yang berarti di partai dan di
masyarakat, terkecuali pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya.
Dalam
awal-awal masa Normalisasi dan Stabilisasi (yang disebut juga ‘masa status
quo’) tersebut, keadaan ekonomi
negara sedang mengalami pertumbuhan yang baik. Masyarakat memperoleh kesempatan
untuk menikmati standard-hidup yang lebih tinggi, sehingga sebagian orang yang
berpenghasilan baik, mulai terjerumus kedalam gaya-hidup materialisme dan
konsumerisme. Mereka diberikan kesempatan untuk menikmati hidup yang sejahtera
dengan diberikannya kemudahan-kemudahan untuk berbelanja barang-barang mewah
termasuk memiliki rumah dan mobil baru. Rakyat yang terlena dan sudah
melepaskan ‘harapan’ atas enyahnya tentara pendudukan Sovyet, akhirnya juga
tidak begitu perduli lagi pada masalah-masalah politik yang terjadi di negerinya.
Pada
akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an, keadaan ‘status quo’ politik mulai mencair. Timbul gerakan ‘Charta 77’ pada tahun 1977 yang
dimotori oleh pengarang Václav Havel dan
kawan-kawan.
Gerakan
ini segera mendapat dukungan luas, dari 243 penandatangan pada tahun 1977, pada
pertengahan tahun 80-an telah mencapai 12.000 orang penandatangan. Para pimpinan partai KSC kewalahan menghadapi
gejolak-gejolak baru di masyarakat, yang ternyata bukan berasal dari
pertentangan-internal didalam partai. Berbagai
lapisan masyarakat diluar partai masih tetap menganggap kehadiran pasukan Rusia
sebagai ‘okupasi’ suatu negara oleh negara lain, dan bahwa perjuangan untuk
kebebasan dan perlindungan HAM adalah bentuk kelanjutan dari semangat
patriotisme dan reformasi 1968.
Gerakan
lain yang timbul pada tahun 80-an adalah kegiatan kelompok penganut agama
Katolik, terutama di kalangan kaum muda, yang selama puluhan tahun mengalami
penekanan dan pembatasan. Mereka berbicara senada dengan ‘Charta 77’ dan organisasi lainnya serta menuntut kebebasan yang
lebih besar bagi kegiatan keagamaan.
Sementara
itu, pada waktu bersamaan muncul pula deru ‘angin perubahan’ yang datangnya
bukan dari Barat tetapi justru dari Timur, dari Uni Sovyet yang waktu itu telah
berada dibawah kepemimpinan Mikhail
Gorbachev, setelah Brezhnev turun
dan digantikan sebentar oleh Cernenko
dan Juri Andropov. Angin ‘puting
beliung’ itu bukan hanya menerpa Cekoslowakia, tetapi hampir semua
negara-negara sosialis di Eropah Timur.
Tammatnya Kekuasaan
Mikhail Gorbachev
memperkenalkan program Glasnost
(Keterbukaan) dan Perestroika (Restrukturisasi)
yang memberikan dampak yang luas terhadap kehidupan politik, ekonomi dan sosial
di masyarakat yang telah terbiasa dengan sistim yang lama. Dampak itu tidak
hanya terjadi di Uni Sovyet tetapi juga di negara-negara tetangganya. Rezim Husak dan KSC yang sudah mapan
dengan kondisi ‘status quo’ selama 20
tahun, tidak segera begitu saja menerima ‘angin perubahan’ yang dilancarkan
dari Moskow.
Sebaliknya
para ex-anggota partai dari zaman reformasi Dubcek 1968, maupun yang masih ada
didalam partai KSC, yang terpengaruh dan merasa mendapat angin dari ‘garis
baru’-nya Gorbachev berusaha melakukan tekanan-tekanan untuk terjadinya
perubahan didalam organisasi dan kebijakan partai, agar tetap berkiblat dengan
konsisten kepada Moskow, yang notabene telah dipimpin liberalis Gorbachev.
Namun
kekuatan konservatif masih tetap kuat dalam tubuh partai KSC, walaupun di
Moskow kekuatan konservatif sudah
digusur oleh kelompok kepemimpinan baru Gorbachev. Menghadapi tekanan-tekanan
yang semakin gencar dari kekuatan-kekuatan liberalis, Gustav Husák
akhirnya mau tidak mau harus bersikap mendukung angin perubahan tersebut dan
pada bulan Maret 1987 ia menyatakan akan melaksanakan glasnost dan perestroika di
Cekoslowakia, walaupun dengan setengah hati.
Hal
lain yang menambah dinamisasi tuntutan perubahan di Cekoslowakia adalah
timbulnya kembali gerakan-gerakan mahasiswa, yang dimulai dengan ‘demonstrasi
lilin’ pada 1988 di ibukota Slowakia, Bratislava yang berlanjut dengan
gerakan-gerakan mahasiswa di Praha walaupun menyadari akan menghadapi
tindakan-tindakan represif dari aparat pemerintah.
Krisis
yang juga terjadi di berbagai negara sosialis lainnya, akibat dari munculnya
gerakan-gerakan reformasi seperti ‘Solidarnost-’nya
Lech Walesa di Polandia dan ‘Duna Kor’ di Hongaria, telah membuat
mahasiswa Cekoslowakia termotivasi untuk juga turut bangkit menuntut perubahan.
Puncak
pergerakan mahasiswa adalah demonstrasi spontan non-stop sejak 17 November 1989
di Praha, yang mendapat dukungan tidak hanya dari kaum cendekiawan dan
politisi-politisi senior lainnya yang bergabung didalam Charta 77, tetapi juga dari kalangan masyarakat luas penduduk
ibukota. Bahkan pada saat-saat terakhir, buruh pabrik pun (yang merupakan basis
keanggotaan partai KSC) ikut memihak gerakan oposisi dan turut melakukan
aksi-aksi pemogokan dan bergabung dengan para demonstran.
Gerakan
oposisi kemudian membentuk wadah baru bernama Občanský forum (Civic Forum atau Forum Warga), yang menggabungkan Charta 77, VONS dan berbagai unsur oposisi lainnya untuk lebih kuat
dan representatif dalam berunding dengan pihak Pemerintah.
Walaupun
aksi demo para mahasiswa dicegah dengan penghadangan represif oleh aparat
keamanan, semangat mereka tidak mengendor bahkan terus setiap hari mengadakan
unjuk-rasa sampai Desember 1989. Pada 27 November 1989, sebuah pemogokan umum yang bertema ‘Akhiri pemerintahan satu partai!’ dilakukan oleh penduduk
Cekoslowakia sebagai pertanda mendukung gerakan mahasiswa.
Sementara
itu beberapa pemerintahan komunis di negara tetangga mulai juga dilanda krisis yang memuncak, yang secara
psikologis berpengaruh pula pada kewibawaan partai KSC. Menghadapi situasi
dalam dan luar negeri yang berkembang cepat, posisi pemimpin-pemimpin KSC
menjadi semakin terpojok. Mereka menyadari bahwa kepercayaan rakyat kepada
partai telah menurun drastis, demikian juga dukungan dari partai-partai sekawan
di Eropah Timur tak dapat diharapkan lagi. Beberapa fungsionaris partai mulai bersikap
‘netral’ dan berpihak kepada gerakan mahasiswa dan oposisi yang semakin lantang
menuntut perubahan.
Dalam
posisi yang semakin defensif demikian, partai KSC pada 28 November 1989
mengumumkan akan membagi kekuasaan dan mengakhiri sistim monopoli kepemimpinan negara oleh partai KSC.
Pada
10 Desember 1989 atas desakan pihak oposisi, Presiden Gustav Husák untuk
pertama kalinya dalam era negara komunis Cekoslowakia, mengangkat sebuah
kabinet yang didominasi oleh menteri-menteri non-komunis, dengan Perdana
Menteri Marián Čalfa,
seorang tokoh KSC yang dapat diterima oleh Civic
Forum. Husak kemudian meletakkan jabatan sebagai Presiden hari itu juga.
Tiga
minggu kemudian, pada 29 Desember 1989, rakyat Cekoslowakia kembali memiliki
seorang presiden non-komunis, yaitu dramawan, budayawan dan aktivis Václav Havel, pemimpin tunggal gerakan oposisi yang pernah
berkali-kali ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim yang berkuasa.
Pada saat euforia
anti-partai KSC meluas di kalangan masyarakat Cekoslowakia, partai KSC harus
mempersiapkan diri menghadapi pemilihan umum demokratis pertama pada bulan Juni
1990. Hasilnya, partai yang telah berganti baju menjadi Partai Komunis Bohemia dan Moravia (‘KSCM’) di negara-bagian Ceko
itu, hanya memenangkan 15% suara, sementara di negara-bagian Slowakia Partai Komunis Slowakia (‘KSS’)
samasekali tidak memenangkan satu kursi pun di
Parlemen.
Dengan demikian tammatlah riwayat hegemoni sebuah kekuasaan yang
pernah bertakhta selama 41 tahun di bumi Cekoslowakia. Berakhirnya
kekuasaan komunis di Cekoslowakia adalah anti-klimaks dari sebuah perjalanan
panjang partai, yang pada awalnya dalam membangun sosialisme di Cekoslowakia,
mendapat simpati dan dukungan penuh dari mayoritas rakyat Ceko dan Slowakia. Rezim ini runtuh sejalan dengan runtuhnya beberapa rezim
komunis di negara-negara Eropah Timur lainnya, pada tahun 1989.
Dan sebagai hasil ‘Revolusi
1989’ yang mencengangkan dunia itu,
naiklah sebuah kekuasaan dan sistim baru, namun yang pada kenyataannya
samasekali kebalikan dan berseberangan dengan apa yang dicita-citakan gerakan reformis-sosialis
Dubček dan kawan-kawan pada tahun
1968 maupun Gorbachev pada tahun 1985. Sebuah ironi sejarah yang harus diterima
sebagai kenyataan...
GFS
Jakarta, Agustus 2012
[1] Anna Sabatova, From
1968 To Charter 77 To 1989 And Beyond, Radio Free Europe Radio Liberty, 19
August 2008, http://www.rferl.org/content/From_1968_To_Charter_77_To_1989_And_Beyond/1192331.html
[2] Nick Carey:
‘Klement Gottwald’, Radio Praha, 22 March 2000, http://www.radio.cz/en/section/czechs/klement-gottwald
Jumat, 21 Agustus 2015
- "THE VELVET REVOLUTION Runtuhnya Kekuasaan Komunis di Cekoslowakia" Oleh G.F. Simorangkir
3. Invasi Pasukan Pakta Warsawa
(Lanjutan: Hal 78-82)
Ketegangan Pra-Kongres
Kongres
partai KSC tetap dijadwalkan pada 9 September 1968. Namun seminggu setelah pertemuan Bratislava,
telah beredar desas-desus di Praha, bahwa sebagian besar kelompok anti-reformis
akan disingkirkan dari Komite Sentral KSC. Diisukan juga bahwa sebuah ‘blacklist’ telah disiapkan oleh kelompok
reformis pendukung Dubcek. Menghadapi situasi seperti ini, akan sulit bagi
kekuatan konservatif untuk bisa menang, terkecuali dengan meminta dukungan
penuh dari Uni Sovyet. Kelompok ini berusaha meyakinkan Uni Sovyet tentang
bahaya akan terjadinya instabilitas politik di Cekoslowakia oleh
kekuatan-kekuatan kontra-revolusi. Mereka menggunakan ‘Laporan Kaspar’ sebagai dasar argumentasinya. (Jan Kaspar adalah Ketua Departemen
Informasi Komite Sentral KSC, yang ditugaskan oleh partai untuk membuat laporan
itu).
Laporan Kaspar
memuat tinjauan menyeluruh tentang situasi politik pada umumnya di
Cekoslowakia, sebagai bahan untuk dibahas di Kongres. Laporan itu meramalkan
bahwa sebuah Komite Sentral yang kukuh dan kepemimpinan yang tegas akan sulit
didapatkan di dalam Kongres Partai itu. Laporan diterima oleh para anggota
Presidium Komite Sentral pada 12 Agustus
1968. Dua
anggota Presidium Kolder dan Indra ditugaskan untuk mengevaluasi laporan
tersebut untuk disampaikan pada rapat Presidium tanggal 20 Agustus 1968.
Pada rapat Presidium KSC
tanggal 20 Agustus 1968 malam, Kolder dan Indra merujuk pada bahaya
‘kontra-revolusi’ yang dipaparkan pada Laporan Kaspar itu dan mengusulkan agar segera umumkan ‘keadaan darurat’ dan meminta bantuan dari ‘negara sahabat’.[1]
Namun keputusan belum sempat
diambil, karena tak disangka pada malam itu juga pasukan Uni Sovyet dan Pakta Warsawa telah menyerbu dan
menerobos perbatasan Cekoslowakia. Tetapi Presidium melalui Presiden Svoboda pada
malam itu masih sempat memutuskan dan —melalui
radio pemerintah sekitar jam 01.00— mengumumkan
kepada rakyat Cekoslowakia agar tidak mengadakan perlawanan militer, serta mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengutuk intervensi
militer Uni Sovyet dan Pakta Warsawa tersebut.
Menjelang
subuh, empat pemimpin reformasi 1968 itu: Dubček, Černík, Smrkovský
dan Kriegel ditangkap oleh pasukan
Pakta Warsawa dan ditawan di Kantor Presidium KSC di Praha. Pada keesokan
harinya sekelompok kolaborator pendukung invasi militer, menyebarkan selebaran-selebaran
yang mengatakan bahwa pasukan Pakta Warsawa datang adalah untuk “menolong kelas pekerja dan rakyat
Cekoslowakia untuk mempertahankan tujuan-tujuan sosialisme”.
Pada
sekitar jam 08.00 pagi, penduduk Praha sudah keluar rumah dan mereka
mengerubungi tank-tank dan pasukan Uni Sovyet di Old Town Square dan Wenceslaus
Square serta memprotes tindakan invasi tersebut.
Dubček
dan kawan-kawan yang ditawan, segera dibawa dengan tank ke lapangan terbang dan
diboyong ke Moskow untuk dihadapkan dalam perundingan dengan pemimpin-pemimpin Uni
Sovyet.
Pakta Warsawa Menduduki
Cekoslowakia
Sebenarnya
invasi ke Cekoslowakia sudah ditentukan pada tanggal 18 Agustus 1968 pada rapat
pimpinan Politbiro Uni Sovyet di Moskow. Menurut Komandan Pasukan Pusat Uni
Sovyet Jenderal Alexander Mayorov, Menteri
Pertahanan Andrei Grechko dengan
tegas menyatakan kepada sidang bahwa “Invasi
akan tetap dilakukan, walau harus berakhir dengan Perang Dunia Ke-III
sekalipun…”.[2]
21 Agustus 1968. Mahasiswa
mengajak berdialog tentara
pasukan pendudukan (Foto: Corbis)
Uni
Sovyet memutuskan untuk menginvasi Cekoslowakia pada malam 20-21 Agustus 1968
karena melihat bahwa KSC sudah semakin tak sepenuhnya mengendalikan situasi
politik dalam negeri, dan gejala-gejala ‘instabilitas’ politik sudah semakin
nyata. Pasukan Uni Sovyet didalam serangan yang diberi nama sandi ‘Operasi
Danube’ itu didukung oleh tank-tank dan pasukan-pasukan Pakta Warsawa dari negara-negara Bulgaria, Polandia, Jerman Timur dan Hongaria. Dalam tempo 24 jam pasukan Pakta Warsawa sudah berhasil menduduki seluruh Cekoslowakia, dengan
dukungan sekitar 200.000 tentara dan
sekitar 2.000 tank dan kendaraan berat lainnya.
’Operation Danube’ —dinamakan
berdasarkan nama sungai Danube yang mengalir dari Jerman sampai ke Laut Hitam di
Rumania tersebut— adalah operasi militer terbesar di Eropah sesudah Perang
Dunia Ke-II. Invasi yang direncanakan dengan cermat dan terkoordinasi itu
dilakukan melalui berbagai pintu perbatasan Cekoslowakia serentak dari berbagai
arah, sementara sebuah pasukan khusus Angkatan Udara Uni Sovyet tengah malam
melumpuhkan lapangan terbang Ruzyne di Praha, untuk membuka jalan bagi
pendaratan bertubi-tubi pesawat-pesawat pengangkut ‘Antonov 12’ yang melakukan
penurunan pasukan khusus Uni Sovyet beserta artileri dan tank-tank ringan
non-stop dari malam sampai pagi. Pasukan terlatih inilah yang segera menduduki
kantor-kantor dan instansi-instansi penting di Praha dan kota-kota lainnya,
tanpa sedikitpun mendapatkan perlawanan.
Pasukan
militer Cekoslowakia tidak melakukan perlawanan dan tidak dilucuti oleh pasukan
Pakta Warsawa, tetapi kepada mereka diperintahkan untuk tidak keluar dari
barak-barak militer mereka
Korban
yang terjadi selama penyerbuan Cekoslowakia itu adalah 72 orang meninggal dunia
(diantaranya 17 orang di Slowakia), 266 luka berat dan 436 luka ringan.
Sebagai
akibat dari invasi militer ini segera pula terjadi gelombang emigrasi atau pelarian dari Cekoslowakia ke negara-negara Barat yang
jumlahnya mencapai 70.000 orang, bahkan ada yang mengatakan mencapai 300.000
orang
Tank-Tank pasukan Pakta Warsawa di subuh hari, dari segala penjuru pintu perbatasan
menerobos dan menduduki kota2 Cekoslowakia dalam tempo 24 jam (Foto: CTK)
Rakyat Cekoslowakia Marah
Rakyat
Cekoslowakia pada umumnya tidak mengadakan perlawanan terhadap invasi tersebut.
Sesuai anjuran Presidium, disusul seruan Presiden (Jenderal) Svoboda untuk
tidak melakukan aksi-aksi yang bisa memprovokasi tentara Pakta Warsawa, mereka
menghindari melakukan demonstrasi dan pemogokan besar-besaran dan hanya
melakukan pemogokan umum simbolis
selama 1 jam pada tanggal 23 Agustus 1968.
Sikap
penentangan dan kemarahan masyarakat dinyatakan dengan aksi-aksi spontan
tanpa-kekerasan. Di Praha dan berbagai kota lainnya penduduk Ceko dan Slowakia
‘mengajak’ tentara-tentara Sovyet untuk berdebat dan berdiskusi untuk
menyatakan ketidak-setujuan mereka atas invasi tersebut.
Mahasiswa dan penduduk Praha memprotes kehadiran
tentara Sovyet.(Foto: Libor Hajsky/CTK/AP)
Mereka memboikot untuk
melayani tentara-tentara Pakta Warsawa di toko-toko dan restoran-restoran.
Selebaran-selebaran, poster-poster, gambar-gambar dan siaran-siaran mereka sebarkan atau gambarkan di
dinding-dinding kota,
yang mengutuk para agresor, pemimpin-pemimpin Uni Sovyet dan para kolaborator
didalam negeri. Demikian juga radio-radio illegal berkumandang dari
tempat-tempat rahasia.
Nama-nama jalan mereka hapus
atau pindahkan papannya agar kendaraan-kendaraan tentara pendudukan kesasar ke
tempat lain. Sementara itu gambar-gambar Svoboda dan Dubček mereka pajang dalam
aksi-aksi damai atau tempelkan diberbagai tempat strategis.
Seluruh negeri ‘menangis’
atas terjadinya peristiwa kelam tersebut. Para
cendekiawan,akademisi, seniman, budayawan dll. yang hampir semuanya adalah
anggota-anggota partai (walaupun belum tentu loyal terhadap Uni Sovyet) tidak
bisa mengerti kenapa sebuah ‘negara sahabat’ sampai-hati untuk menginvasi dan
menduduki negara mereka. Demikian juga kaum buruh, yang menjadikan Uni Sovyet
sebagai ‘model’nya, merasa sangat terpukul dengan kejadian tersebut.
Pasukan Pakta Warsawa 21 Agustus 1968 subuh
Yang paling marah adalah
mahasiswa. Pada mulanya mereka melakukan berbagai aksi-tanpa-kekerasan, bahkan
mahasiswi-mahasiswi membawa bunga untuk diserahkan kepada tentara Rusia. Namun di kemudian hari mereka semakin
tak dapat menahan diri dan mulai melakukan aksi-aksi provokatif seperti
melempari kendaraan tentara pendudukan dengan batu, membalikkan mobil-mobil di
jalan, membakar tank Rusia dengan semacam ‘bom Molotov’ dan sebagainya.
‘Protes
Maut’ Jan Palach
Puncak daripada manifestasi
kemarahan mahasiswa-mahasiswa ini adalah aksi bunuh-diri yang dilakukan oleh Jan Palach, mahasiswa Fakultas Falsafat Charles University, yang membakar
dirinya secara demonstratif di Wenceslaus
Square tanggal 16 Januari 1969 (meninggal 3 hari kemudian pada 19 Januari
1969) sebagai protes atas pendudukan Cekoslowakia oleh Pakta Warsawa.
Pemuda/mahasiswa yang tak sabar, memprotes invasi
Sovyet dengan aksi-aksi yang lebih radikal
(Foto: AP Photo/Libor Hajsky/CTK)
Yang menarik adalah,
komentar seorang dokter, Jaroslava
Moserova, yang turut merawat Jan Palach di Rumah Sakit Charles University,
setelah kejadian tragis tersebut. Dokter yang kelak dikenal sebagai
anggota Parlemen di zaman pasca-Komunis itu, mengatakan 34 tahun kemudian, dalam
wawancaranya kepada wartawan Radio Prague (2003) bahwa Palach melakukan aksi
bakar-dirinya pada 5 bulan setelah Invasi Pakta Warsawa itu, bukanlah semata-mata sebagai protes
terhadap okupasi Uni Sovyet, tetapi dia melakukannya, terutama sebagai protes terhadap ‘demoralisasi’ penduduk Cekoslowakia yang diakibatkan oleh
okupasi tersebut. Antara lain Moserova mengatakan:
“Saya berbicara dengan dia untuk waktu yang
cukup lama, sebab dia sudah mampu bicara sejak
pemeriksaan selesai –belakangan dia mulai merasa sulit untuk bernafas–,
jadi dia tidak hanya mampu berbicara, tetapi alasannya mengapa dia berbuat
demikian, cukup jelas. (Jadi) utamanya bukanlah masalah penentangan dia
terhadap pendudukan Uni Sovyet, tetapi adalah
demoralisasi yang kemudian terjadi, bahwa rakyat tidak saja menyerah, tapi
malah menerima (kenyataan tersebut). Dan dia ingin menghentikan demoralisasi
tersebut…”.[1]
Namun ‘pesan moral’ yang ingin disampaikan Jan Palach
itu tak sampai bergema jauh, sebab Cekoslowakia segera terperangkap kedalam era
Normalisasi dan Stabilisasi selama 20 tahun dibawah Gustav Husak, pemimpin baru pengganti
Dubček.
(berlanjut...)
[1]Rob Cameron, David Vaughan : ‘Jaroslava Moserova – remembering Jan Palach ’ , Radio Prague,
21 Januari 2003, http://www.radio.cz/en/section/witness/jaroslava-moserova-remembering-jan-palach/
Lengkapnya dr. Moserova mengatakan sebagai berikut : “I
spoke with him for quite a long time, because he was able to speak right after
the admission - later on he started having great difficulties breathing - so he
not only could talk, but the reason why he did it was quite clear. It was not
so much in opposition to the Soviet occupation, but the demoralization which
was setting in, that people were not only giving up, but giving in. And he
wanted to stop that demoralization. I think the people in the street, the
multitude of people in the street, silent, with sad eyes, serious faces, which
when you looked at those people you understood that everyone understands, all
the decent people who were on the verge of making compromises…”
Langganan:
Postingan (Atom)