- MENGENANG 21 AGUSTUS 1968, HARI KELAM BAGI RAKYAT CEKOSLOWAKIA...
Pada tengah malam 20-21 Agustus 1968, 47 tahun yang lalu, pasukan Pakta Warsawa dibawah pimpinan Uni Sovyet menerobos pintu-pintu perbatasan Republik Sosialis Cekoslowakia, dan berhasil menduduki negara itu dalam tempo 24 jam. Dan sejak itu, sirnalah semua harapan dan impian gerakan reformasi-liberalis, terkenal sebagai "The Prague Spring", yang dipelopori oleh Alexander Dubcek pimpinan Partai Komunis Cekoslowakia yang baru berkuasa sejak 5 Januari 1968. Dubcek, dengan konsepnya "Sosialisme berwajah manusiawi" ("Socialism with a human face"), hanya berkuasa hingga April 1969, dan sejak itu Cekoslowakia dipimpin oleh Gustav Husak, pemimpin yang direstui oleh Moskow, yang berkuasa hingga November 1989, pada saat mana akhirnya 41 tahun kekuasaan rezim komunis di Cekoslowakia berhasil diturunkan oleh gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan rakyat Cekoslowakia, dibawah pimpinan Vaclav Havel, yang kemudian terkenal di seluruh dunia sebagai "The Velvet Revolution"... Sebuah 'revolusi' tanpa sebutir peluru pun yang meletus, dan tanpa sebuah nyawa pun yang melayang...
Berikut ini sebuah kesaksian, oleh penulis, yang waktu kejadian itu baru saja mengakhiri studinya di salah satu perguruan tinggi di Praha. (Kesaksian ini dikutip dari buku "The Velvet Revolution", hal. 75-78, yang dalam persiapan penerbitan).
3. Invasi Pasukan Pakta Warsawa
Rakyat termangu, sedih,
kesal dan marah melihat negeri
mereka diserbu dan diduduki oleh pasukan negara sahabat. (Foto: CTK)
Sebuah
Kesaksian
Pada 20 Agustus 1968 malam, kami
mahasiswa-mahasiswa penghuni asrama CVUT Strahov, Praha, sedang mengobrol
santai dibawah pohon-pohon rindang dipinggir plaza beton yang luas, menikmati
gerahnya hawa musim panas malam itu.
Asrama Fakultas Teknik CVUT yang terdiri
dari sekitar 10 blok-panjang masing-masing bertingkat empat dan dihuni sekitar
4.000 mahasiswa itu, sedang ditinggal
pergi oleh sebagian besar mahasiswa Ceko yang pulang kampung menikmati libur
panjang.
Tak terasa, kami memberi perhatian kepada
suara kapal terbang yang menderu-deru tiada hentinya malam itu. “Rupanya ada
lagi latihan-bersama pasukan Pakta
Warsawa“, kata seorang teman. “Tapi kan baru saja mereka selesai latihan 2
bulan yang lalu, masak udah latihan lagi..?“, timpal teman lain.
Sampai kami berangkat tidur, deru kapal
terbang bertubi-tubi tanpa henti, bagaikan lagu merdu yang mengantar kami tidur
nyenyak sampai pagi hari.
Ketika terbangun esok harinya, saya
membuka jendela kamar dan pemandangan aneh terpampang dihadapan saya. Sebuah
tank Polandia yang kotor oleh debu dan lumpur, ’parkir’ dengan manisnya di
plaza beton asrama kami.
“Lha,
kok ada tank di asrama mahasiswa?“, pikir saya.
Saya bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa
lain yang sudah duluan mengerubungi tank tersebut, dan rupanya bukan cuma satu
tank yang bertugas mengawasi asrama kami. Dan sedikit demi sedikit barulah
terkuak –dan juga berdasarkan informasi radio yang disampaikan teman-teman–
bahwa negara Cekoslowakia telah diserbu dan diduduki secara paksa oleh pasukan
Pakta Warsawa. Dan deru kapal terbang non-stop tadi malam rupanya adalah bagian
dari operasi pendaratan ribuan Pasukan Khusus Uni Sovyet beserta tank-tank,
artileri, dan kendaraan ringan lainnya, yang segera mengambil alih lapangan
terbang Ruzyne, serta gedung-gedung dan tempat-tempat strategis lainnya di kota
Praha dan sekitarnya.
Kami lalu bergegas turun ke kota, menuju Václavské
náměstí (Venceslaus Square) di pusat kota Praha, dan benar saja,
seluruh jalan dan lapangan Raja Vaclav itu telah penuh sesak oleh
pemuda-pemudi, mahasiswa, pekerja-pekerja, pegawai-pegawai kantor, ibu-ibu
rumah-tangga, yang mengerubungi tank-tank, panser-panser dan truk-truk Pakta
Warsawa yang parkir di berbagai posisi strategis.
Saya sangat terkesima melihat wajah-wajah
penduduk Praha itu, yang menampilkan berbagai mimik: termangu, sedih, kesal,
marah, diam membisu, atau berbicara secara persuasif, atau memaki-maki atau
menghardik tentara Rusia yang berdiri di jalan maupun yang duduk diatas
kendaraan-kendaraan.
Saya perhatikan wajah-wajah lelah dan
kurang-tidur tentara-tentara Rusia itu. Mereka masih muda belia sekali, sekitar
duapuluh-sekianan tahun. Sadarkah mereka
sedang melakukan apa di kota yang asing bagi mereka tersebut? Kemungkinan
mereka tak tahu atau hanya diberitahu sedikit tentang kemana mereka
diterjunkan… Kemungkinan kepada mereka hanya dibilang ’menumpas
kontra-revolusi’, tetapi kenyataannya kok mereka malah menghadapi bapak-bapak,
ibu-ibu, anak-anak muda tak bersenjata yang mengajak berdialog?
Kami melanjutkan pengamatan kami ke Staroměstské náměstí (Old Town Square), lanjut mengitar melalui
Hlavní nádraží (Main Station) dan kembali ke patung
Raja Vaclav. Dimana-mana sama. Penduduk berjubel-jubel keluar ke jalan,
berbicara sesamanya, bingung, sedih, marah, ingin bertindak…tapi perintah dari
Presiden: ‘jangan melakukan perlawanan!’, yang memang mereka patuhi. Melawan
tank dengan tangan kosong adalah tindakan bodoh dan sia-sia.
Namun tidak demikian dengan anak-anak muda dan mahasiswa Praha. Mereka
meradang, marah, emosi, mengajak berdialog dengan berapi-api tentara-tentara
Rusia itu, bahkan naik keatas tank sambil mengibar-ngibarkan bendera
Cekoslowakia. Di kemudian hari anak-anak muda ini bahkan tak mematuhi lagi
perintah Presiden Svoboda, mobil-mobil mereka balikkan untuk menutupi jalan,
bahkan beberapa tank mereka bakar dengan bersenjatakan obor menyala
Kemarahan anak-anak muda Ceko dan Slowakaia itu bisa dimaklumi. Sebab
sebagian besar mereka adalah pendukung-pendukung ‘The Prague Spring’, gerakan
reformasi yang mengelu-elukan Alexander Dubček. Mereka sudah ‘melihat’, dengan adanya
invasi ini, masa-depan ‘Reformasi Dubček’ sudah tammat, dan ‘pintu sudah
tertutup’…”Spadla klec!” kata orang Ceko.
Sampai kami balik lagi di asrama, masih terngiang-ngiang di telinga saya
ucapan seorang ibu setengah baya kepada prajurit Rusia yang berdiri disebelah
sebuah tank: “…kami dulu mengelu-elukan kalian sebagai pahlawan, ketika
tank-tank Rusia memasuki kota
Praha ini tahun 1945. Kalian adalah Tentara Pembebasan bagi kami, memberikan
kami kemerdekaan dan kehidupan yang lebih baik daripada dibawah penjajah
diktatur fasis Jerman… Kini kalian datang lagi menduduki negeri kami, apa salah
kami??... Kami kan tidak menggangu negara kalian yang jauh di Utara sana?... Pulanglah kalian,
kalian telah dibohongi oleh atasan kalian! Kami adalah sahabat-sahabat kalian… Pulanglah
kalian...”, katanya dengan mata yang berkaca-kaca.
Si prajurit Rusia diam saja, membisu seperti patung Raja Vaclav.
Umumnya tentara-tentara itu bersikap tak meladeni, sabar, tak bereaksi, walau
dilempari puntung rokok, bungkus korek, batu-batu kecil, bahkan ada pula yang
mencoba meludahi…. Seorang rekan Indonesia memuji: “Hebat ya, kok
mereka tidak terprovokasi samasekali… Coba ini di Indonesia, mereka pasti sudah
mengamuk…”
Invasi pasukan Pakta Warsawa 1968 telah dianggap sebuah ’penjajahan’
yang lebih menyakitkan daripada masuknya tentara penjajah Jerman pada tahun
1938. Kalau dulu, yang datang memang musuh, yang mereka hadapi
dengan kebencian. Tapi sekarang?... yang datang adalah tentara-tentara negara
sahabat. Apa salah mereka? Kenapa harus diduduki lagi oleh negara asing?...
Sakit hati rakyat Cekoslowakia dan
tercorengnya harga-diri dan martabat bangsa serta negara mereka, telah menjadi
’catatan kelam’ memori kolektif mereka, yang terbawa dari tahun ke tahun, yang
merupakan ’api didalam sekam’ nan tak kunjung padam...sampai akhirnya mereka
tersentak kembali oleh peristiwa
’Revolusi Beludru’ yang dicetuskan
oleh mahasiswa-mahasiswa pada November 1989, dan mengakhiri41tahun kekuasaan
rezim komunis yang ditopang hegemoni Uni Sovyet itu, untuk selamanya.
Mengenang kembali peristiwa itu, saya
merasa beruntung, terhadir di Praha untuk turut mengalami dan menyaksikan
sekeping peristiwa sejarah, sebuah tragedi politik paling menyakitkan bagi
sebuah bangsa dan negara yang pernah masyhur di dunia: Cekoslowakia.
(GFS
– penulis)
Ketegangan Pra-Kongres
Kongres
partai KSC tetap dijadwalkan pada 9 September 1968. Namun seminggu setelah pertemuan Bratislava,
telah beredar desas-desus di Praha, bahwa sebagian besar kelompok anti-reformis
akan disingkirkan dari Komite Sentral KSC. Diisukan juga bahwa sebuah ‘blacklist’ telah disiapkan oleh kelompok
reformis pendukung Dubcek. Menghadapi situasi seperti ini, akan sulit bagi
kekuatan konservatif untuk bisa menang, terkecuali dengan meminta dukungan
penuh dari Uni Sovyet. Kelompok ini berusaha meyakinkan Uni Sovyet tentang
bahaya akan terjadinya instabilitas politik di Cekoslowakia oleh
kekuatan-kekuatan kontra-revolusi. Mereka menggunakan ‘Laporan Kaspar’ sebagai dasar argumentasinya. (Jan Kaspar adalah Ketua Departemen
Informasi Komite Sentral KSC, yang ditugaskan oleh partai untuk membuat laporan
itu).
Laporan Kaspar
memuat tinjauan menyeluruh tentang situasi politik pada umumnya di
Cekoslowakia, sebagai bahan untuk dibahas di Kongres. Laporan itu meramalkan
bahwa sebuah Komite Sentral yang kukuh dan kepemimpinan yang tegas akan sulit
didapatkan di dalam Kongres Partai itu. Laporan diterima oleh para anggota
Presidium Komite Sentral pada 12 Agustus
1968. Dua
anggota Presidium Kolder dan Indra ditugaskan untuk mengevaluasi
laporan tersebut untuk disampaikan pada rapat Presidium tanggal 20 Agustus
1968.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar