Rabu, 19 Agustus 2015

==========================================================================
  • MENGENANG 21 AGUSTUS 1968, HARI KELAM BAGI RAKYAT CEKOSLOWAKIA...

Pada tengah malam 20-21 Agustus 1968, 47 tahun yang lalu, pasukan Pakta Warsawa dibawah pimpinan Uni Sovyet menerobos pintu-pintu perbatasan Republik Sosialis Cekoslowakia, dan berhasil menduduki negara itu dalam tempo 24 jam. Dan sejak itu, sirnalah semua harapan dan impian gerakan reformasi-liberalis, terkenal sebagai "The Prague Spring", yang dipelopori oleh Alexander Dubcek pimpinan Partai Komunis Cekoslowakia yang baru berkuasa sejak 5 Januari 1968. Dubcek, dengan konsepnya "Sosialisme berwajah manusiawi" ("Socialism with a human face"), hanya berkuasa hingga April 1969, dan sejak itu Cekoslowakia dipimpin oleh Gustav Husak, pemimpin yang direstui oleh Moskow, yang berkuasa hingga November 1989, pada saat mana akhirnya 41 tahun kekuasaan rezim komunis di Cekoslowakia berhasil diturunkan oleh gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan rakyat Cekoslowakia, dibawah pimpinan Vaclav Havel, yang kemudian terkenal di seluruh dunia sebagai "The Velvet Revolution"... Sebuah 'revolusi' tanpa sebutir peluru pun yang meletus, dan tanpa sebuah nyawa pun yang melayang...
Berikut ini sebuah kesaksian, oleh penulis, yang waktu kejadian itu baru saja mengakhiri studinya di salah satu perguruan tinggi di Praha. (Kesaksian ini dikutip dari buku "The Velvet Revolution", hal. 75-78, yang dalam persiapan penerbitan).



3. Invasi Pasukan Pakta Warsawa

Rakyat termangu, sedih, kesal dan marah melihat negeri 
mereka diserbu dan diduduki oleh pasukan negara sahabat. (Foto: CTK)


Sebuah Kesaksian
      Pada 20 Agustus 1968 malam, kami mahasiswa-mahasiswa penghuni asrama CVUT Strahov, Praha, sedang mengobrol santai dibawah pohon-pohon rindang dipinggir plaza beton yang luas, menikmati gerahnya hawa musim panas malam itu.
      Asrama Fakultas Teknik CVUT yang terdiri dari sekitar 10 blok-panjang masing-masing bertingkat empat dan dihuni sekitar 4.000 mahasiswa itu,  sedang ditinggal pergi oleh sebagian besar mahasiswa Ceko yang pulang kampung menikmati libur panjang.
      Tak terasa, kami memberi perhatian kepada suara kapal terbang yang menderu-deru tiada hentinya malam itu. “Rupanya ada lagi latihan-bersama pasukan  Pakta Warsawa“, kata seorang teman. “Tapi kan baru saja mereka selesai latihan 2 bulan yang lalu, masak udah latihan lagi..?“, timpal teman lain.
      Sampai kami berangkat tidur, deru kapal terbang bertubi-tubi tanpa henti, bagaikan lagu merdu yang mengantar kami tidur nyenyak sampai pagi hari.
      Ketika terbangun esok harinya, saya membuka jendela kamar dan pemandangan aneh terpampang dihadapan saya. Sebuah tank Polandia yang kotor oleh debu dan lumpur, ’parkir’ dengan manisnya di plaza beton asrama kami.
“Lha, kok ada tank di asrama mahasiswa?“, pikir saya.
      Saya bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang sudah duluan mengerubungi tank tersebut, dan rupanya bukan cuma satu tank yang bertugas mengawasi asrama kami. Dan sedikit demi sedikit barulah terkuak –dan juga berdasarkan informasi radio yang disampaikan teman-teman– bahwa negara Cekoslowakia telah diserbu dan diduduki secara paksa oleh pasukan Pakta Warsawa. Dan deru kapal terbang non-stop tadi malam rupanya adalah bagian dari operasi pendaratan ribuan Pasukan Khusus Uni Sovyet beserta tank-tank, artileri, dan kendaraan ringan lainnya, yang segera mengambil alih lapangan terbang Ruzyne, serta gedung-gedung dan tempat-tempat strategis lainnya di kota Praha dan sekitarnya.
      Kami lalu bergegas turun ke kota, menuju Václavské náměstí (Venceslaus Square) di pusat kota Praha, dan benar saja, seluruh jalan dan lapangan Raja Vaclav itu telah penuh sesak oleh pemuda-pemudi, mahasiswa, pekerja-pekerja, pegawai-pegawai kantor, ibu-ibu rumah-tangga, yang mengerubungi tank-tank, panser-panser dan truk-truk Pakta Warsawa yang parkir di berbagai posisi strategis.
      Saya sangat terkesima melihat wajah-wajah penduduk Praha itu, yang menampilkan berbagai mimik: termangu, sedih, kesal, marah, diam membisu, atau berbicara secara persuasif, atau memaki-maki atau menghardik tentara Rusia yang berdiri di jalan maupun yang duduk diatas kendaraan-kendaraan.
      Saya perhatikan wajah-wajah lelah dan kurang-tidur tentara-tentara Rusia itu. Mereka masih muda belia sekali, sekitar duapuluh-sekianan  tahun. Sadarkah mereka sedang melakukan apa di kota yang asing bagi mereka tersebut? Kemungkinan mereka tak tahu atau hanya diberitahu sedikit tentang kemana mereka diterjunkan… Kemungkinan kepada mereka hanya dibilang ’menumpas kontra-revolusi’, tetapi kenyataannya kok mereka malah menghadapi bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak muda tak bersenjata yang mengajak berdialog?
      Kami melanjutkan pengamatan kami ke Staroměstské náměstí (Old Town Square), lanjut mengitar melalui Hlavní nádraží (Main Station) dan kembali ke patung Raja Vaclav. Dimana-mana sama. Penduduk berjubel-jubel keluar ke jalan, berbicara sesamanya, bingung, sedih, marah, ingin bertindak…tapi perintah dari Presiden: ‘jangan melakukan perlawanan!’, yang memang mereka patuhi. Melawan tank dengan tangan kosong adalah tindakan bodoh dan sia-sia.
      Namun tidak demikian dengan anak-anak muda dan mahasiswa Praha. Mereka meradang, marah, emosi, mengajak berdialog dengan berapi-api tentara-tentara Rusia itu, bahkan naik keatas tank sambil mengibar-ngibarkan bendera Cekoslowakia. Di kemudian hari anak-anak muda ini bahkan tak mematuhi lagi perintah Presiden Svoboda, mobil-mobil mereka balikkan untuk menutupi jalan, bahkan beberapa tank mereka bakar dengan bersenjatakan obor menyala
      Kemarahan anak-anak muda Ceko dan Slowakaia itu bisa dimaklumi. Sebab sebagian besar mereka adalah pendukung-pendukung ‘The Prague Spring’, gerakan reformasi yang mengelu-elukan Alexander Dubček. Mereka sudah ‘melihat’, dengan adanya invasi ini, masa-depan ‘Reformasi Dubček’ sudah tammat, dan ‘pintu sudah tertutup’…”Spadla klec!” kata orang Ceko.
      Sampai kami balik lagi di asrama, masih terngiang-ngiang di telinga saya ucapan seorang ibu setengah baya kepada prajurit Rusia yang berdiri disebelah sebuah tank: “…kami dulu mengelu-elukan kalian sebagai pahlawan, ketika tank-tank Rusia memasuki kota Praha ini tahun 1945. Kalian adalah Tentara Pembebasan bagi kami, memberikan kami kemerdekaan dan kehidupan yang lebih baik daripada dibawah penjajah diktatur fasis Jerman… Kini kalian datang lagi menduduki negeri kami, apa salah kami??... Kami kan tidak menggangu negara kalian yang jauh di Utara sana?... Pulanglah kalian, kalian telah dibohongi oleh atasan kalian! Kami adalah sahabat-sahabat kalian… Pulanglah kalian...”, katanya dengan mata yang berkaca-kaca.
      Si prajurit Rusia diam saja, membisu seperti patung Raja Vaclav. Umumnya tentara-tentara itu bersikap tak meladeni, sabar, tak bereaksi, walau dilempari puntung rokok, bungkus korek, batu-batu kecil, bahkan ada pula yang mencoba meludahi…. Seorang rekan Indonesia memuji: “Hebat ya, kok mereka tidak terprovokasi samasekali… Coba ini di Indonesia, mereka pasti sudah mengamuk…”
      Invasi pasukan Pakta Warsawa 1968 telah dianggap sebuah ’penjajahan’ yang lebih menyakitkan daripada masuknya tentara penjajah Jerman pada tahun 1938. Kalau dulu, yang datang memang musuh, yang mereka hadapi dengan kebencian. Tapi sekarang?... yang datang adalah tentara-tentara negara sahabat. Apa salah mereka? Kenapa harus diduduki lagi oleh negara asing?...
      Sakit hati rakyat Cekoslowakia dan tercorengnya harga-diri dan martabat bangsa serta negara mereka, telah menjadi ’catatan kelam’ memori kolektif mereka, yang terbawa dari tahun ke tahun, yang merupakan ’api didalam sekam’ nan tak kunjung padam...sampai akhirnya mereka tersentak kembali oleh peristiwa   ’Revolusi  Beludru’ yang  dicetuskan  oleh   mahasiswa-mahasiswa  pada November 1989, dan mengakhiri41tahun                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  kekuasaan rezim komunis yang ditopang hegemoni Uni Sovyet itu, untuk selamanya.
      Mengenang kembali peristiwa itu, saya merasa beruntung, terhadir di Praha untuk turut mengalami dan menyaksikan sekeping peristiwa sejarah, sebuah tragedi politik paling menyakitkan bagi sebuah bangsa dan negara yang pernah masyhur di dunia: Cekoslowakia.
(GFS – penulis)

Ketegangan Pra-Kongres
Kongres partai KSC tetap dijadwalkan pada 9 September 1968. Namun seminggu setelah pertemuan Bratislava, telah beredar desas-desus di Praha, bahwa sebagian besar kelompok anti-reformis akan disingkirkan dari Komite Sentral KSC. Diisukan juga bahwa sebuah ‘blacklist’ telah disiapkan oleh kelompok reformis pendukung Dubcek. Menghadapi situasi seperti ini, akan sulit bagi kekuatan konservatif untuk bisa menang, terkecuali dengan meminta dukungan penuh dari Uni Sovyet. Kelompok ini berusaha meyakinkan Uni Sovyet tentang bahaya akan terjadinya instabilitas politik di Cekoslowakia oleh kekuatan-kekuatan kontra-revolusi. Mereka menggunakan ‘Laporan Kaspar’ sebagai dasar argumentasinya. (Jan Kaspar adalah Ketua Departemen Informasi Komite Sentral KSC, yang ditugaskan oleh partai untuk membuat laporan itu).

Laporan Kaspar memuat tinjauan menyeluruh tentang situasi politik pada umumnya di Cekoslowakia, sebagai bahan untuk dibahas di Kongres. Laporan itu meramalkan bahwa sebuah Komite Sentral yang kukuh dan kepemimpinan yang tegas akan sulit didapatkan di dalam Kongres Partai itu. Laporan diterima oleh para anggota Presidium Komite Sentral pada 12 Agustus 1968. Dua anggota Presidium Kolder dan Indra ditugaskan untuk mengevaluasi laporan tersebut untuk disampaikan pada rapat Presidium tanggal 20 Agustus 1968. 
(bersambung)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar