- "THE VELVET REVOLUTION Runtuhnya Kekuasaan Komunis di Cekoslowakia" Oleh G.F. Simorangkir
3. Invasi Pasukan Pakta Warsawa
(Lanjutan: Hal 78-82)
Ketegangan Pra-Kongres
Kongres
partai KSC tetap dijadwalkan pada 9 September 1968. Namun seminggu setelah pertemuan Bratislava,
telah beredar desas-desus di Praha, bahwa sebagian besar kelompok anti-reformis
akan disingkirkan dari Komite Sentral KSC. Diisukan juga bahwa sebuah ‘blacklist’ telah disiapkan oleh kelompok
reformis pendukung Dubcek. Menghadapi situasi seperti ini, akan sulit bagi
kekuatan konservatif untuk bisa menang, terkecuali dengan meminta dukungan
penuh dari Uni Sovyet. Kelompok ini berusaha meyakinkan Uni Sovyet tentang
bahaya akan terjadinya instabilitas politik di Cekoslowakia oleh
kekuatan-kekuatan kontra-revolusi. Mereka menggunakan ‘Laporan Kaspar’ sebagai dasar argumentasinya. (Jan Kaspar adalah Ketua Departemen
Informasi Komite Sentral KSC, yang ditugaskan oleh partai untuk membuat laporan
itu).
Laporan Kaspar
memuat tinjauan menyeluruh tentang situasi politik pada umumnya di
Cekoslowakia, sebagai bahan untuk dibahas di Kongres. Laporan itu meramalkan
bahwa sebuah Komite Sentral yang kukuh dan kepemimpinan yang tegas akan sulit
didapatkan di dalam Kongres Partai itu. Laporan diterima oleh para anggota
Presidium Komite Sentral pada 12 Agustus
1968. Dua
anggota Presidium Kolder dan Indra ditugaskan untuk mengevaluasi laporan
tersebut untuk disampaikan pada rapat Presidium tanggal 20 Agustus 1968.
Pada rapat Presidium KSC
tanggal 20 Agustus 1968 malam, Kolder dan Indra merujuk pada bahaya
‘kontra-revolusi’ yang dipaparkan pada Laporan Kaspar itu dan mengusulkan agar segera umumkan ‘keadaan darurat’ dan meminta bantuan dari ‘negara sahabat’.[1]
Namun keputusan belum sempat
diambil, karena tak disangka pada malam itu juga pasukan Uni Sovyet dan Pakta Warsawa telah menyerbu dan
menerobos perbatasan Cekoslowakia. Tetapi Presidium melalui Presiden Svoboda pada
malam itu masih sempat memutuskan dan —melalui
radio pemerintah sekitar jam 01.00— mengumumkan
kepada rakyat Cekoslowakia agar tidak mengadakan perlawanan militer, serta mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengutuk intervensi
militer Uni Sovyet dan Pakta Warsawa tersebut.
Menjelang
subuh, empat pemimpin reformasi 1968 itu: Dubček, Černík, Smrkovský
dan Kriegel ditangkap oleh pasukan
Pakta Warsawa dan ditawan di Kantor Presidium KSC di Praha. Pada keesokan
harinya sekelompok kolaborator pendukung invasi militer, menyebarkan selebaran-selebaran
yang mengatakan bahwa pasukan Pakta Warsawa datang adalah untuk “menolong kelas pekerja dan rakyat
Cekoslowakia untuk mempertahankan tujuan-tujuan sosialisme”.
Pada
sekitar jam 08.00 pagi, penduduk Praha sudah keluar rumah dan mereka
mengerubungi tank-tank dan pasukan Uni Sovyet di Old Town Square dan Wenceslaus
Square serta memprotes tindakan invasi tersebut.
Dubček
dan kawan-kawan yang ditawan, segera dibawa dengan tank ke lapangan terbang dan
diboyong ke Moskow untuk dihadapkan dalam perundingan dengan pemimpin-pemimpin Uni
Sovyet.
Pakta Warsawa Menduduki
Cekoslowakia
Sebenarnya
invasi ke Cekoslowakia sudah ditentukan pada tanggal 18 Agustus 1968 pada rapat
pimpinan Politbiro Uni Sovyet di Moskow. Menurut Komandan Pasukan Pusat Uni
Sovyet Jenderal Alexander Mayorov, Menteri
Pertahanan Andrei Grechko dengan
tegas menyatakan kepada sidang bahwa “Invasi
akan tetap dilakukan, walau harus berakhir dengan Perang Dunia Ke-III
sekalipun…”.[2]
21 Agustus 1968. Mahasiswa
mengajak berdialog tentara
pasukan pendudukan (Foto: Corbis)
Uni
Sovyet memutuskan untuk menginvasi Cekoslowakia pada malam 20-21 Agustus 1968
karena melihat bahwa KSC sudah semakin tak sepenuhnya mengendalikan situasi
politik dalam negeri, dan gejala-gejala ‘instabilitas’ politik sudah semakin
nyata. Pasukan Uni Sovyet didalam serangan yang diberi nama sandi ‘Operasi
Danube’ itu didukung oleh tank-tank dan pasukan-pasukan Pakta Warsawa dari negara-negara Bulgaria, Polandia, Jerman Timur dan Hongaria. Dalam tempo 24 jam pasukan Pakta Warsawa sudah berhasil menduduki seluruh Cekoslowakia, dengan
dukungan sekitar 200.000 tentara dan
sekitar 2.000 tank dan kendaraan berat lainnya.
’Operation Danube’ —dinamakan
berdasarkan nama sungai Danube yang mengalir dari Jerman sampai ke Laut Hitam di
Rumania tersebut— adalah operasi militer terbesar di Eropah sesudah Perang
Dunia Ke-II. Invasi yang direncanakan dengan cermat dan terkoordinasi itu
dilakukan melalui berbagai pintu perbatasan Cekoslowakia serentak dari berbagai
arah, sementara sebuah pasukan khusus Angkatan Udara Uni Sovyet tengah malam
melumpuhkan lapangan terbang Ruzyne di Praha, untuk membuka jalan bagi
pendaratan bertubi-tubi pesawat-pesawat pengangkut ‘Antonov 12’ yang melakukan
penurunan pasukan khusus Uni Sovyet beserta artileri dan tank-tank ringan
non-stop dari malam sampai pagi. Pasukan terlatih inilah yang segera menduduki
kantor-kantor dan instansi-instansi penting di Praha dan kota-kota lainnya,
tanpa sedikitpun mendapatkan perlawanan.
Pasukan
militer Cekoslowakia tidak melakukan perlawanan dan tidak dilucuti oleh pasukan
Pakta Warsawa, tetapi kepada mereka diperintahkan untuk tidak keluar dari
barak-barak militer mereka
Korban
yang terjadi selama penyerbuan Cekoslowakia itu adalah 72 orang meninggal dunia
(diantaranya 17 orang di Slowakia), 266 luka berat dan 436 luka ringan.
Sebagai
akibat dari invasi militer ini segera pula terjadi gelombang emigrasi atau pelarian dari Cekoslowakia ke negara-negara Barat yang
jumlahnya mencapai 70.000 orang, bahkan ada yang mengatakan mencapai 300.000
orang
Tank-Tank pasukan Pakta Warsawa di subuh hari, dari segala penjuru pintu perbatasan
menerobos dan menduduki kota2 Cekoslowakia dalam tempo 24 jam (Foto: CTK)
Rakyat Cekoslowakia Marah
Rakyat
Cekoslowakia pada umumnya tidak mengadakan perlawanan terhadap invasi tersebut.
Sesuai anjuran Presidium, disusul seruan Presiden (Jenderal) Svoboda untuk
tidak melakukan aksi-aksi yang bisa memprovokasi tentara Pakta Warsawa, mereka
menghindari melakukan demonstrasi dan pemogokan besar-besaran dan hanya
melakukan pemogokan umum simbolis
selama 1 jam pada tanggal 23 Agustus 1968.
Sikap
penentangan dan kemarahan masyarakat dinyatakan dengan aksi-aksi spontan
tanpa-kekerasan. Di Praha dan berbagai kota lainnya penduduk Ceko dan Slowakia
‘mengajak’ tentara-tentara Sovyet untuk berdebat dan berdiskusi untuk
menyatakan ketidak-setujuan mereka atas invasi tersebut.
Mahasiswa dan penduduk Praha memprotes kehadiran
tentara Sovyet.(Foto: Libor Hajsky/CTK/AP)
Mereka memboikot untuk
melayani tentara-tentara Pakta Warsawa di toko-toko dan restoran-restoran.
Selebaran-selebaran, poster-poster, gambar-gambar dan siaran-siaran mereka sebarkan atau gambarkan di
dinding-dinding kota,
yang mengutuk para agresor, pemimpin-pemimpin Uni Sovyet dan para kolaborator
didalam negeri. Demikian juga radio-radio illegal berkumandang dari
tempat-tempat rahasia.
Nama-nama jalan mereka hapus
atau pindahkan papannya agar kendaraan-kendaraan tentara pendudukan kesasar ke
tempat lain. Sementara itu gambar-gambar Svoboda dan Dubček mereka pajang dalam
aksi-aksi damai atau tempelkan diberbagai tempat strategis.
Seluruh negeri ‘menangis’
atas terjadinya peristiwa kelam tersebut. Para
cendekiawan,akademisi, seniman, budayawan dll. yang hampir semuanya adalah
anggota-anggota partai (walaupun belum tentu loyal terhadap Uni Sovyet) tidak
bisa mengerti kenapa sebuah ‘negara sahabat’ sampai-hati untuk menginvasi dan
menduduki negara mereka. Demikian juga kaum buruh, yang menjadikan Uni Sovyet
sebagai ‘model’nya, merasa sangat terpukul dengan kejadian tersebut.
Pasukan Pakta Warsawa 21 Agustus 1968 subuh
Yang paling marah adalah
mahasiswa. Pada mulanya mereka melakukan berbagai aksi-tanpa-kekerasan, bahkan
mahasiswi-mahasiswi membawa bunga untuk diserahkan kepada tentara Rusia. Namun di kemudian hari mereka semakin
tak dapat menahan diri dan mulai melakukan aksi-aksi provokatif seperti
melempari kendaraan tentara pendudukan dengan batu, membalikkan mobil-mobil di
jalan, membakar tank Rusia dengan semacam ‘bom Molotov’ dan sebagainya.
‘Protes
Maut’ Jan Palach
Puncak daripada manifestasi
kemarahan mahasiswa-mahasiswa ini adalah aksi bunuh-diri yang dilakukan oleh Jan Palach, mahasiswa Fakultas Falsafat Charles University, yang membakar
dirinya secara demonstratif di Wenceslaus
Square tanggal 16 Januari 1969 (meninggal 3 hari kemudian pada 19 Januari
1969) sebagai protes atas pendudukan Cekoslowakia oleh Pakta Warsawa.
Pemuda/mahasiswa yang tak sabar, memprotes invasi
Sovyet dengan aksi-aksi yang lebih radikal
(Foto: AP Photo/Libor Hajsky/CTK)
Yang menarik adalah,
komentar seorang dokter, Jaroslava
Moserova, yang turut merawat Jan Palach di Rumah Sakit Charles University,
setelah kejadian tragis tersebut. Dokter yang kelak dikenal sebagai
anggota Parlemen di zaman pasca-Komunis itu, mengatakan 34 tahun kemudian, dalam
wawancaranya kepada wartawan Radio Prague (2003) bahwa Palach melakukan aksi
bakar-dirinya pada 5 bulan setelah Invasi Pakta Warsawa itu, bukanlah semata-mata sebagai protes
terhadap okupasi Uni Sovyet, tetapi dia melakukannya, terutama sebagai protes terhadap ‘demoralisasi’ penduduk Cekoslowakia yang diakibatkan oleh
okupasi tersebut. Antara lain Moserova mengatakan:
“Saya berbicara dengan dia untuk waktu yang
cukup lama, sebab dia sudah mampu bicara sejak
pemeriksaan selesai –belakangan dia mulai merasa sulit untuk bernafas–,
jadi dia tidak hanya mampu berbicara, tetapi alasannya mengapa dia berbuat
demikian, cukup jelas. (Jadi) utamanya bukanlah masalah penentangan dia
terhadap pendudukan Uni Sovyet, tetapi adalah
demoralisasi yang kemudian terjadi, bahwa rakyat tidak saja menyerah, tapi
malah menerima (kenyataan tersebut). Dan dia ingin menghentikan demoralisasi
tersebut…”.[1]
Namun ‘pesan moral’ yang ingin disampaikan Jan Palach
itu tak sampai bergema jauh, sebab Cekoslowakia segera terperangkap kedalam era
Normalisasi dan Stabilisasi selama 20 tahun dibawah Gustav Husak, pemimpin baru pengganti
Dubček.
(berlanjut...)
[1]Rob Cameron, David Vaughan : ‘Jaroslava Moserova – remembering Jan Palach ’ , Radio Prague,
21 Januari 2003, http://www.radio.cz/en/section/witness/jaroslava-moserova-remembering-jan-palach/
Lengkapnya dr. Moserova mengatakan sebagai berikut : “I
spoke with him for quite a long time, because he was able to speak right after
the admission - later on he started having great difficulties breathing - so he
not only could talk, but the reason why he did it was quite clear. It was not
so much in opposition to the Soviet occupation, but the demoralization which
was setting in, that people were not only giving up, but giving in. And he
wanted to stop that demoralization. I think the people in the street, the
multitude of people in the street, silent, with sad eyes, serious faces, which
when you looked at those people you understood that everyone understands, all
the decent people who were on the verge of making compromises…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar