Jumat, 21 Agustus 2015

  • "THE  VELVET REVOLUTION                           Runtuhnya Kekuasaan  Komunis di Cekoslowakia"                Oleh G.F. Simorangkir     
  •    
3. Invasi Pasukan Pakta Warsawa
(Lanjutan:  Hal 78-82)

Ketegangan Pra-Kongres
Kongres partai KSC tetap dijadwalkan pada 9 September 1968. Namun seminggu setelah pertemuan Bratislava, telah beredar desas-desus di Praha, bahwa sebagian besar kelompok anti-reformis akan disingkirkan dari Komite Sentral KSC. Diisukan juga bahwa sebuah ‘blacklist’ telah disiapkan oleh kelompok reformis pendukung Dubcek. Menghadapi situasi seperti ini, akan sulit bagi kekuatan konservatif untuk bisa menang, terkecuali dengan meminta dukungan penuh dari Uni Sovyet. Kelompok ini berusaha meyakinkan Uni Sovyet tentang bahaya akan terjadinya instabilitas politik di Cekoslowakia oleh kekuatan-kekuatan kontra-revolusi. Mereka menggunakan ‘Laporan Kaspar’ sebagai dasar argumentasinya. (Jan Kaspar adalah Ketua Departemen Informasi Komite Sentral KSC, yang ditugaskan oleh partai untuk membuat laporan itu).
Laporan Kaspar memuat tinjauan menyeluruh tentang situasi politik pada umumnya di Cekoslowakia, sebagai bahan untuk dibahas di Kongres. Laporan itu meramalkan bahwa sebuah Komite Sentral yang kukuh dan kepemimpinan yang tegas akan sulit didapatkan di dalam Kongres Partai itu. Laporan diterima oleh para anggota Presidium Komite Sentral pada 12 Agustus 1968. Dua anggota Presidium Kolder dan Indra ditugaskan untuk mengevaluasi laporan tersebut untuk disampaikan pada rapat Presidium tanggal 20 Agustus 1968.
Pada rapat Presidium KSC tanggal 20 Agustus 1968 malam, Kolder dan Indra merujuk pada bahaya ‘kontra-revolusi’ yang dipaparkan pada Laporan Kaspar itu dan mengusulkan agar  segera umumkan ‘keadaan darurat’ dan meminta bantuan dari ‘negara sahabat’.[1]
Namun keputusan belum sempat diambil, karena tak disangka pada malam itu juga pasukan Uni Sovyet dan Pakta Warsawa telah menyerbu dan menerobos perbatasan Cekoslowakia. Tetapi Presidium melalui Presiden Svoboda pada malam itu masih sempat memutuskan dan  —melalui radio pemerintah  sekitar jam 01.00— mengumumkan kepada rakyat Cekoslowakia agar tidak mengadakan perlawanan militer, serta  mengeluarkan  sebuah pernyataan yang mengutuk intervensi militer Uni Sovyet dan Pakta Warsawa tersebut.

Menjelang subuh, empat pemimpin reformasi 1968 itu: Dubček, Černík, Smrkovský dan Kriegel ditangkap oleh pasukan Pakta Warsawa dan ditawan di Kantor Presidium KSC di Praha. Pada keesokan harinya sekelompok kolaborator pendukung invasi militer, menyebarkan selebaran-selebaran yang mengatakan bahwa pasukan Pakta Warsawa datang adalah untuk “menolong kelas pekerja dan rakyat Cekoslowakia untuk mempertahankan tujuan-tujuan sosialisme”.
Pada sekitar jam 08.00 pagi, penduduk Praha sudah keluar rumah dan mereka mengerubungi tank-tank dan pasukan Uni Sovyet di Old Town Square dan Wenceslaus Square serta memprotes tindakan invasi tersebut.
Dubček dan kawan-kawan yang ditawan, segera dibawa dengan tank ke lapangan terbang dan diboyong ke Moskow untuk dihadapkan dalam perundingan dengan pemimpin-pemimpin Uni Sovyet.

Pakta Warsawa Menduduki Cekoslowakia
Sebenarnya invasi ke Cekoslowakia sudah ditentukan pada tanggal 18 Agustus 1968 pada rapat pimpinan Politbiro Uni Sovyet di Moskow. Menurut Komandan Pasukan Pusat Uni Sovyet Jenderal Alexander Mayorov, Menteri Pertahanan Andrei Grechko dengan tegas menyatakan kepada sidang bahwa “Invasi akan tetap dilakukan, walau harus berakhir dengan Perang Dunia Ke-III sekalipun…”.[2]

21 Agustus 1968. Mahasiswa mengajak berdialog tentara
pasukan pendudukan  (Foto: Corbis)

Uni Sovyet memutuskan untuk menginvasi Cekoslowakia pada malam 20-21 Agustus 1968 karena melihat bahwa KSC sudah semakin tak sepenuhnya mengendalikan situasi politik dalam negeri, dan gejala-gejala ‘instabilitas’ politik sudah semakin nyata. Pasukan Uni Sovyet didalam serangan yang diberi nama sandi ‘Operasi Danube’ itu didukung oleh tank-tank dan pasukan-pasukan Pakta Warsawa dari negara-negara Bulgaria, Polandia, Jerman Timur dan Hongaria. Dalam tempo 24 jam pasukan Pakta Warsawa sudah berhasil menduduki seluruh Cekoslowakia, dengan dukungan  sekitar 200.000 tentara dan sekitar 2.000 tank dan kendaraan berat lainnya. 
’Operation Danube’ —dinamakan berdasarkan nama sungai Danube yang mengalir dari Jerman sampai ke Laut Hitam di Rumania tersebut— adalah operasi militer terbesar di Eropah sesudah Perang Dunia Ke-II. Invasi yang direncanakan dengan cermat dan terkoordinasi itu dilakukan melalui berbagai pintu perbatasan Cekoslowakia serentak dari berbagai arah, sementara sebuah pasukan khusus Angkatan Udara Uni Sovyet tengah malam melumpuhkan lapangan terbang Ruzyne di Praha, untuk membuka jalan bagi pendaratan bertubi-tubi pesawat-pesawat pengangkut ‘Antonov 12’ yang melakukan penurunan pasukan khusus Uni Sovyet beserta artileri dan tank-tank ringan non-stop dari malam sampai pagi. Pasukan terlatih inilah yang segera menduduki kantor-kantor dan instansi-instansi penting di Praha dan kota-kota lainnya, tanpa sedikitpun mendapatkan perlawanan. 
Pasukan militer Cekoslowakia tidak melakukan perlawanan dan tidak dilucuti oleh pasukan Pakta Warsawa, tetapi kepada mereka diperintahkan untuk tidak keluar dari barak-barak militer mereka
Korban yang terjadi selama penyerbuan Cekoslowakia itu adalah 72 orang meninggal dunia (diantaranya 17 orang di Slowakia), 266 luka berat dan 436 luka ringan.
Sebagai akibat dari invasi militer ini segera pula terjadi gelombang  emigrasi atau pelarian dari Cekoslowakia ke negara-negara Barat yang jumlahnya mencapai 70.000 orang, bahkan ada yang mengatakan mencapai 300.000 orang


Tank-Tank pasukan Pakta Warsawa di subuh hari, dari segala penjuru pintu perbatasan
menerobos dan menduduki kota2 Cekoslowakia dalam tempo 24 jam (Foto: CTK)


Rakyat Cekoslowakia Marah
Rakyat Cekoslowakia pada umumnya tidak mengadakan perlawanan terhadap invasi tersebut. Sesuai anjuran Presidium, disusul seruan Presiden (Jenderal) Svoboda untuk tidak melakukan aksi-aksi yang bisa memprovokasi tentara Pakta Warsawa, mereka menghindari melakukan demonstrasi dan pemogokan besar-besaran dan hanya melakukan pemogokan umum simbolis selama 1 jam pada tanggal 23 Agustus 1968.
Sikap penentangan dan kemarahan masyarakat dinyatakan dengan aksi-aksi spontan tanpa-kekerasan. Di Praha dan berbagai kota lainnya penduduk Ceko dan Slowakia ‘mengajak’ tentara-tentara Sovyet untuk berdebat dan berdiskusi untuk menyatakan ketidak-setujuan mereka atas invasi tersebut.

Mahasiswa dan penduduk Praha memprotes kehadiran
tentara Sovyet.(Foto: Libor Hajsky/CTK/AP)

Mereka memboikot untuk melayani tentara-tentara Pakta Warsawa di toko-toko dan restoran-restoran. Selebaran-selebaran, poster-poster, gambar-gambar dan siaran-siaran  mereka sebarkan atau gambarkan di dinding-dinding kota, yang mengutuk para agresor, pemimpin-pemimpin Uni Sovyet dan para kolaborator didalam negeri. Demikian juga radio-radio illegal berkumandang dari tempat-tempat rahasia.
Nama-nama jalan mereka hapus atau pindahkan papannya agar kendaraan-kendaraan tentara pendudukan kesasar ke tempat lain. Sementara itu gambar-gambar Svoboda dan Dubček mereka pajang dalam aksi-aksi damai atau tempelkan diberbagai tempat strategis.
Seluruh negeri ‘menangis’ atas terjadinya peristiwa kelam tersebut. Para cendekiawan,akademisi, seniman, budayawan dll. yang hampir semuanya adalah anggota-anggota partai (walaupun belum tentu loyal terhadap Uni Sovyet) tidak bisa mengerti kenapa sebuah ‘negara sahabat’ sampai-hati untuk menginvasi dan menduduki negara mereka. Demikian juga kaum buruh, yang menjadikan Uni Sovyet sebagai ‘model’nya, merasa sangat terpukul dengan kejadian tersebut.


Pasukan Pakta Warsawa 21 Agustus 1968 subuh
memasuki ibukota Praha.  (Foto: www.daylife.com)
Yang paling marah adalah mahasiswa. Pada mulanya mereka melakukan berbagai aksi-tanpa-kekerasan, bahkan mahasiswi-mahasiswi membawa bunga untuk diserahkan kepada tentara  Rusia. Namun di kemudian hari mereka semakin tak dapat menahan diri dan mulai melakukan aksi-aksi provokatif seperti melempari kendaraan tentara pendudukan dengan batu, membalikkan mobil-mobil di jalan, membakar tank Rusia dengan semacam ‘bom Molotov’ dan sebagainya.

‘Protes Maut’ Jan Palach
Puncak daripada manifestasi kemarahan mahasiswa-mahasiswa ini adalah aksi bunuh-diri yang dilakukan oleh Jan Palach, mahasiswa Fakultas Falsafat Charles University, yang membakar dirinya secara demonstratif di Wenceslaus Square tanggal 16 Januari 1969 (meninggal 3 hari kemudian pada 19 Januari 1969) sebagai protes atas pendudukan Cekoslowakia oleh Pakta Warsawa.

Pemuda/mahasiswa yang tak sabar, memprotes invasi
Sovyet  dengan aksi-aksi yang lebih radikal
(Foto: AP Photo/Libor Hajsky/CTK)

Yang menarik adalah, komentar seorang dokter, Jaroslava Moserova, yang turut merawat Jan Palach di Rumah Sakit Charles University, setelah kejadian tragis tersebut. Dokter yang kelak dikenal sebagai anggota Parlemen di zaman pasca-Komunis itu, mengatakan 34 tahun kemudian, dalam wawancaranya kepada wartawan Radio Prague (2003) bahwa Palach melakukan aksi bakar-dirinya pada 5 bulan setelah Invasi Pakta Warsawa itu, bukanlah semata-mata sebagai protes terhadap okupasi Uni Sovyet, tetapi dia melakukannya, terutama sebagai protes terhadap ‘demoralisasi’ penduduk Cekoslowakia yang diakibatkan oleh okupasi tersebut. Antara lain Moserova mengatakan:

“Saya berbicara dengan dia untuk waktu yang cukup lama, sebab dia sudah mampu bicara sejak  pemeriksaan selesai –belakangan dia mulai merasa sulit untuk bernafas–, jadi dia tidak hanya mampu berbicara, tetapi alasannya mengapa dia berbuat demikian, cukup jelas. (Jadi) utamanya bukanlah masalah penentangan dia terhadap pendudukan Uni Sovyet, tetapi  adalah demoralisasi yang kemudian terjadi, bahwa rakyat tidak saja menyerah, tapi malah menerima (kenyataan tersebut). Dan dia ingin menghentikan demoralisasi tersebut…”.[1]

Namun ‘pesan moral’ yang ingin disampaikan Jan Palach itu tak sampai bergema jauh, sebab Cekoslowakia segera terperangkap kedalam era Normalisasi dan Stabilisasi selama 20 tahun dibawah Gustav Husak,  pemimpin baru pengganti Dubček.

 (berlanjut...)

[1]Rob Cameron, David Vaughan : ‘Jaroslava Moserova – remembering Jan Palach , Radio Prague, 21 Januari 2003,  http://www.radio.cz/en/section/witness/jaroslava-moserova-remembering-jan-palach/
Lengkapnya dr. Moserova mengatakan sebagai berikut  :I spoke with him for quite a long time, because he was able to speak right after the admission - later on he started having great difficulties breathing - so he not only could talk, but the reason why he did it was quite clear. It was not so much in opposition to the Soviet occupation, but the demoralization which was setting in, that people were not only giving up, but giving in. And he wanted to stop that demoralization. I think the people in the street, the multitude of people in the street, silent, with sad eyes, serious faces, which when you looked at those people you understood that everyone understands, all the decent people who were on the verge of making compromises…”





[1] Sumber: History of Czechoslovakia 1948-1989, Wikipedia the Free Encyclopedia, http://en.wikipedia.org/

[2] Matthew Frost: Czech Republic: A Chronology Of Events Leading To The 1968 Invasion, Radio Free Europe    Radio Liberty, http://www.rferl.org/content/article/1089303.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar